Default Title
logo spatial highlights
Permintaan Teknologi Geospasial Meningkat, tetapi Jurusan Geografi Kurang Diminati, Kenapa?

Permintaan Teknologi Geospasial Meningkat, tetapi Jurusan Geografi Kurang Diminati, Kenapa?

Pasar teknologi geospasial sedang mengalami percepatan luar biasa. Laporan dari Precedence Research menunjukkan bahwa nilai pasar geospasial global yang berada di angka US$105,01 miliar pada 2025 diproyeksikan melesat hingga US$338,78 miliar pada 2034. Angka ini menegaskan bahwa hampir semua aspek kehidupan modern kini dipengaruhi oleh teknologi berbasis lokasi, mulai dari bisnis, transportasi, tata kelola kota, hingga mitigasi perubahan iklim.

Sayangnya, ironi terjadi ketika kebutuhan tenaga kerja dengan literasi geospasial meningkat, tetapi jurusan geografi di perguruan tinggi justru mengalami penurunan peminat selama lebih dari satu dekade. Padahal, lulusan geografi dengan bekal teori ruang dan keterampilan analisis spasial bukan hanya “layak kerja”, tetapi memiliki keunggulan unik dalam menghadapi tantangan geopolitik, lingkungan, hingga sosial global.

Data terbaru memperkuat kekhawatiran ini. Berdasarkan riset dari Esri (2024), jumlah lulusan geografi di Amerika Serikat terus menurun dari tahun ke tahun, bahkan kini tercatat kurang dari 3.000 sarjana per tahun. Angka tersebut sangat kontras dengan besarnya kebutuhan industri geospasial yang terus berkembang pesat. Kondisi ini menciptakan kesenjangan serius antara permintaan tenaga kerja dan pasokan lulusan yang benar-benar memiliki pemahaman mendalam tentang teori dan etika geografi.

Image 1

Pertanyaannya, mengapa jurusan yang justru sangat relevan dengan masa depan malah ditinggalkan? Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana kurangnya prospek kerja karena pasar geospasial terbukti sedang tumbuh pesat. Faktor yang lebih mendasar terletak pada rendahnya eksposur geografi dalam pendidikan dasar dan menengah, miskonsepsi tentang peran geografer, serta citra disiplin ilmu yang dianggap “usang” dibanding istilah teknologi modern. Lalu, bagaimana mungkin, saat dunia makin bergantung pada geospasial, fondasi akademiknya justru tergerus dari waktu ke waktu?

Kenapa Jurusan Ini Ditinggalkan?

Salah satu penyebab utama menurunnya minat terhadap jurusan geografi adalah karena mata pelajaran ini tidak pernah menjadi bagian wajib dalam kurikulum pendidikan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Tanpa paparan sejak dini, banyak siswa tumbuh tanpa pemahaman tentang apa sebenarnya geografi dan bagaimana relevansinya dengan kehidupan modern. Akibatnya, jurusan ini sering kali hanya ditemukan secara kebetulan oleh mahasiswa di tahun-tahun awal perkuliahan, bukan sebagai pilihan sadar yang dipersiapkan sejak sekolah menengah.

Lebih jauh lagi, miskonsepsi besar tentang geografi turut memperparah keadaan. Siswa, guru, bahkan orang tua masih menganggap geografi sebatas hafalan peta, nama ibu kota, atau gunung tertinggi di dunia. Padahal, inti dari geografi adalah spatial thinking, yaitu kemampuan memahami keterkaitan ruang, lingkungan, dan manusia dalam konteks global. Sayangnya, keterbatasan guru yang terlatih, minimnya bahan ajar yang berkualitas, dan fokus berlebihan pada mata pelajaran “unggulan”, seperti matematika, sains, dan literasi, membuat geografi makin terpinggirkan di level K-12.

Untuk menjaga eksistensi, banyak departemen geografi akhirnya melakukan “rebranding identitas. Kata “geografi” diganti dengan istilah yang lebih teknologis, seperti “geospatial sciences” atau “spatial data science”. Strategi ini memang berhasil menarik minat generasi mahasiswa yang lebih akrab dengan istilah teknologi digital. Namun, langkah ini menimbulkan dilema, apakah esensi geografi sedang digantikan oleh citra modern, atau justru ini merupakan evolusi alami agar ilmu geografi tetap relevan di era industri data?

Di tengah transformasi itu, tetap ada risiko besar jika teori geografi diabaikan. Geospasial bukan hanya soal mengoperasikan perangkat lunak GIS atau mengolah citra satelit, melainkan juga memahami konteks sosial, lingkungan, dan etika dari data yang dianalisis. Tanpa landasan geografi, analisis spasial bisa salah membaca skala, keliru memetakan masalah, bahkan abai terhadap geoprivacy dan geoethics. Oleh karena itu, peran geografi tetap krusial: ia menjadi jangkar epistemologis yang memastikan perkembangan teknologi geospasial tidak kehilangan arah dalam menjawab tantangan nyata masyarakat global.

Mengembalikan Geografi ke Panggung Strategis

Fenomena meningkatnya permintaan teknologi geospasial di satu sisi, dan merosotnya minat terhadap jurusan geografi di sisi lain, menciptakan sebuah paradoks yang mencolok. Dunia kini makin bergantung pada data spasial untuk merencanakan kota, memetakan perubahan iklim, hingga mengelola konflik geopolitik. Namun, tanpa pemahaman geografi yang mendalam, penggunaan data spasial berisiko menjadi sekadar aktivitas teknis tanpa arah. Geografi menawarkan perspektif unik yang menghubungkan ruang, manusia, dan lingkungan, sesuatu yang tidak bisa digantikan hanya dengan algoritma atau perangkat lunak.

Jika jurusan geografi terus dibiarkan terpinggirkan, industri geospasial akan menghadapi bahaya besar: lahirnya generasi analis yang mahir secara teknis, tetapi miskin secara konseptual. Tanpa spatial thinking, mereka mungkin mampu mengolah data satelit dengan cepat, tetapi gagal membaca implikasi sosial, etis, dan politik dari peta yang dihasilkan. Risiko kesalahan interpretasi, pengabaian konteks, hingga potensi bias spasial akan makin besar, dan pada akhirnya dapat merugikan masyarakat yang bergantung pada data tersebut untuk mengambil keputusan.

Dengan demikian, mengembalikan geografi ke panggung strategis bukan sekadar upaya mempertahankan jurusan yang terancam sepi, melainkan investasi untuk masa depan. Geografi harus diposisikan ulang sebagai ilmu strategis yang menjembatani teknologi dan kebijakan, data dan makna, peta dan realitas. Dunia yang makin geospasial ini tidak hanya membutuhkan lebih banyak data, tetapi juga lebih banyak geografer, para pemikir ruang yang mampu memastikan bahwa data spasial benar-benar digunakan untuk menghadirkan solusi yang adil, etis, dan berkelanjutan.

+
+