

Sejarah Panjang Perkembangan Geospasial di Indonesia
Peta bukan sekadar gambar wilayah, melainkan juga representasi dari pengetahuan, kekuasaan, dan arah pembangunan suatu bangsa. Di Indonesia, sejarah penyelenggaraan informasi geospasial telah mengalami perjalanan panjang sejak masa kolonial, ketika pengukuran dan pemetaan dilakukan untuk kepentingan administrasi Hindia Belanda. Jejak awal itu kemudian berkembang menjadi fondasi penting bagi pembentukan lembaga-lembaga pemetaan nasional yang lebih terstruktur seiring dengan perubahan politik dan dinamika pemerintahan.
Transformasi kelembagaan geospasial Indonesia merefleksikan kebutuhan untuk menghadirkan data spasial yang akurat, terintegrasi, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari komisi pemetaan kolonial hingga lahirnya Badan Informasi Geospasial (BIG) pada era modern, setiap fase mencerminkan komitmen negara dalam memajukan kebijakan berbasis ruang. Pemahaman terhadap sejarah ini menjadi kunci untuk menilai peran strategis geospasial dalam pembangunan nasional serta menjawab tantangan di masa depan.
Berikut ini tahap demi tahap transformasi kelembagaan geospasial di Indonesia.
- Era Hindia Belanda: Awal Usaha Pemetaan Terpusat (1938–1948)
Pada masa Hindia Belanda, sejumlah jawatan pengukuran bekerja secara terpisah hingga tahun 1938, ketika dibentuk Permante Kaarterings‑Commissie (Komisi Tetap Pemetaan). Namun, badan ini tidak berhasil mencapai tujuan awalnya. Berdasarkan Gouvernements Besluit van 17 January 1948, komisi tersebut dibubarkan dan digantikan oleh Raad en Directorium voor het Meet en Kaarteerwezen in Nederlands‑Indies. .
- Masa Transisi Kemerdekaan: Konsolidasi Organisasi (1949–1964)
Setelah pengakuan kedaulatan RI pada 1949, struktur lama Hindia Belanda dibongkar. Melalui Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1951, dibentuk Dewan dan Direktorium Pengukuran dan Penggambaran Peta, mengikuti pola struktural ganda: Dewan sebagai badan kebijakan, dan Direktorium sebagai pelaksana.
Selanjutnya, dibentuk Panitia Pembuatan Atlas Sumber‑Sumber Kemakmuran Indonesia yang bertanggung jawab pada Biro Ekonomi dan Keuangan—Menteri Pertama. Pada 1964, panitia ini ditingkatkan menjadi Badan Atlas Nasional (Batnas) melalui Keputusan Kabinet Kerja No. Aa/D57/1964 yang ditandatangani Wakil Perdana Menteri II, Ir. Chaerul Saleh.
- Organisasi Berbentuk Komando: Kosurtanal dan Desurtanal (1965)
Presiden Soekarno menilai kinerja Dewan–Direktorium lamban dan tidak terkoordinasi. Melalui Keppres No. 263 Tahun 1965 (2 September 1965), dibentuk struktur baru berupa komando: Komando Survei dan Pemetaan Nasional (Kosurtanal) sebagai pelaksana, dan Dewan Survei dan Pemetaan Nasional (Desurtanal) sebagai penasihat pusat. Nama-nama ini menjadi tonggak penting dalam reformasi organisasi geospasial.
- Berdirinya BAKOSURTANAL: Era Koordinasi Nasional (1969)
Meski kedua badan baru itu dibentuk, hingga peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965, Desurtanal dan Kosurtanal belum efektif. Akhirnya, pemerintah membentuk BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) melalui Keppres No. 83 Tahun 1969 (17 Oktober— kini diperingati sebagai hari ulang tahun Lembaga). Pertimbangannya adalah perlunya efisiensi, penghematan anggaran, dan penataan ulang aparatur yang menggabungkan Desurtanal dan Batnas ke dalam satu wadah terkoordinasi.
BAKOSURTANAL berpindah lokasi seiring masa kepemimpinannya. Awalnya berada di Jalan Wahidin Sudirohusodo I/11, lalu Jalan Merdeka Selatan No. 11, sempat juga di Gondangdia, hingga akhirnya menetap di Kompleks Cibinong Science Center. .
- Terbentuknya BIG: Optimalisasi Informasi Geospasial (2011–2022)
Terbentuknya Badan Informasi Geospasial (BIG) merupakan hasil dari amandemen besar dalam tata kelola informasi geospasial nasional yang dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, yang disetujui oleh DPR pada 15 April 2011 dan diundangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 April 2011. Undang-undang ini menegaskan tiga tujuan utama BIG, yakni menjamin akses terhadap informasi geospasial yang dapat dipertanggungjawabkan, mewujudkan penyelenggaraan informasi geospasial yang efisien dan efektif melalui kerja sama, integrasi, serta sinkronisasi, dan mendorong pemanfaatan informasi geospasial dalam penyelenggaraan pemerintahan serta kehidupan masyarakat.
Sebagai implementasinya, Presiden SBY menandatangani Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 yang secara resmi menetapkan BIG sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Dalam masa transisi kelembagaan, Keputusan Presiden mengatur agar BAKOSURTANAL tetap melaksanakan tugas geospasial hingga BIG siap secara kelembagaan untuk menerima seluruh arsip, dokumen, serta hak dan kewajiban operasional yang ada.
Untuk memperkuat fungsi dan struktur kelembagaan BIG, Presiden Joko Widodo pada 1 November 2022 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 128 Tahun 2022. Peraturan ini menata ulang organisasi dan tata kerja BIG dengan menetapkannya sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang berada langsung di bawah Presiden dan berkoordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Peran Strategis dalam Kebijakan Satu Peta
Salah satu peran strategis BIG sejak pendiriannya adalah pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) sebagaimana diamanatkan dalam Perpres Nomor 9 Tahun 2016. Berdasarkan peraturan tersebut, BIG ditunjuk sebagai ketua pelaksana yang bertanggung jawab memastikan tersedianya satu referensi peta nasional yang baku, terintegrasi, dan dapat digunakan lintas sektor. Target penyelesaian kebijakan ini ditetapkan pada akhir tahun 2019.
Selain itu, BIG juga berperan besar dalam mendorong penggunaan teknologi pengindraan jauh dan revolusi digital melalui pemanfaatan data satelit seperti Landsat, platform cloud seperti Google Earth Engine, serta teknologi kecerdasan geospasial (GeoAI), yang memungkinkan monitoring lahan dan lingkungan secara lebih cepat, akurat, dan hemat biaya.
Saat ini, berdasarkan UU No. 4 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden terkait, BIG memiliki beberapa tugas pokok. Beberapa di antaranya termasuk menyusun kebijakan nasional di bidang geospasial, menyinkronkan data dasar dan tematik, membangun infrastruktur informasi geospasial nasional, serta menyelenggarakan standardisasi teknis dan pedoman pemetaan, termasuk untuk wilayah-wilayah masyarakat hukum adat.
Meski memiliki peran strategis dan dukungan regulasi yang kuat, BIG tetap menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut meliputi kebutuhan integrasi data lintas sektor, konsolidasi data lama dari BAKOSURTANAL, peningkatan literasi geospasial publik, dan adaptasi terhadap inovasi teknologi baru, seperti GeoAI dan cloud computing.
Menuju Lembaga Geospasial yang Mampu Menjawab Tantangan
Seiring dengan kemajuan zaman dan meningkatnya kompleksitas tata kelola ruang, transformasi kelembagaan dari BAKOSURTANAL ke BIG mencerminkan tidak sekadar perubahan nama ataupun struktur. Seiring waktu, terjadi pula pergeseran paradigma dalam pengelolaan informasi geospasial di Indonesia.
Evolusi ini menggambarkan bagaimana negara merespons kebutuhan akan data spasial yang lebih terbuka, efisien, dan mendukung pengambilan keputusan lintas sektor, dari perencanaan wilayah, mitigasi bencana, hingga pengelolaan sumber daya alam. Dari model kolonial yang berorientasi teknis dan terbatas, hingga sistem komando yang bersifat top-down, kini Indonesia memiliki lembaga geospasial profesional yang berbasis hukum, berorientasi pelayanan publik, dan bertumpu pada integrasi teknologi mutakhir.
Dengan mandat yang makin kuat, dukungan regulasi yang jelas, serta tantangan baru di era digital dan kebijakan satu peta nasional, BIG diharapkan mampu memainkan peran sentral sebagai penyedia, penjaga, dan pengarah informasi geospasial nasional. Di tengah era keterbukaan data dan percepatan pembangunan berbasis ruang, kehadiran BIG menjadi fondasi penting untuk menciptakan tata kelola wilayah yang berkeadilan, transparan, dan berkelanjutan. Transformasi ini menandai langkah maju Indonesia menuju masa depan yang dibangun di atas data spasial yang akurat, terstandar, dan dapat diakses oleh seluruh pemangku kepentingan, dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat luas.
Sumber: BIG
