Default Title
logo spatial highlights
Menakar Efektivitas Giant Sea Wall untuk Atasi Banjir Rob di Pesisir Utara Jawa

Menakar Efektivitas Giant Sea Wall untuk Atasi Banjir Rob di Pesisir Utara Jawa

Dalam menghadapi ancaman banjir rob yang makin parah di wilayah pesisir, seperti Jakarta dan Demak, pembangunan Giant Sea Wall (GSW) atau Tanggul Laut Raksasa sering kali disebut sebagai solusi utama. Proyek ini pada dasarnya dirancang sebagai struktur masif yang membentengi daratan dari gempuran air laut, terutama saat pasang tinggi dan badai. Di atas kertas, pendekatan ini tampak menjanjikan. Namun, efektivitasnya secara jangka panjang perlu dianalisis secara kritis, terutama dalam konteks sosial, lingkungan, dan spasial yang kompleks.

Secara teknis, GSW memang dapat memberikan perlindungan langsung dari intrusi air laut. Struktur tersebut dapat menahan gelombang tinggi dan menstabilkan garis pantai di area tertentu. Proyek ini juga menawarkan potensi rekayasa lanjutan, termasuk integrasi sistem pompa, pengolahan air, dan ruang publik baru. Namun demikian, GSW tidak menyelesaikan masalah utama yang menjadi akar dari kerentanan kawasan pesisir. Masalah utama kerentanan pesisir adalah penurunan muka tanah atau land subsidence, yang umumnya disebabkan oleh eksploitasi air tanah secara masif.

Kondisi ini sangat terasa di Jakarta, di mana amblesan tanah dapat mencapai lebih dari 10 cm per tahun di beberapa kawasan. Sementara itu, di Kecamatan Sayung, Demak, air laut kadang sulit surut dalam beberapa bulan ke belakang. Dalam skenario seperti ini, meskipun air laut bisa dicegah masuk dari depan, tanah di belakang tanggul justru terus menurun. Dalam jangka waktu tertentu, hal ini akan membuat tanggul menjadi tidak cukup tinggi, atau lebih buruk lagi, memungkinkan air laut merembes dari bawah atau menggenangi daratan akibat sistem drainase internal yang tidak optimal. Ketergantungan pada sistem pompa juga menjadi titik rawan. Kegagalan teknis atau kekurangan daya dapat menyebabkan genangan besar di dalam kawasan penduduk.

Di sisi lain, pembangunan GSW berpotensi menimbulkan dampak ekologis yang signifikan. Struktur beton raksasa yang dibangun di atas laut mengubah sistem arus dan sedimentasi alami, serta menghancurkan habitat pesisir, seperti mangrove, padang lamun, dan daerah pembiakan ikan. Padahal, ekosistem pesisir tersebut berfungsi sebagai pelindung alami dari abrasi dan gelombang tinggi. Di wilayah seperti Demak yang telah mengalami abrasi parah dan hilangnya garis pantai, pendekatan rekayasa keras seperti GSW justru bisa memperparah degradasi lingkungan jika tidak dikombinasikan dengan upaya restorasi alam.

Aspek sosial pun tidak dapat diabaikan. Pembangunan infrastruktur skala besar di kawasan pesisir sering kali berdampak langsung pada masyarakat yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di wilayah tersebut, khususnya nelayan kecil dan warga permukiman informal. Tanpa perencanaan partisipatif dan skema perlindungan sosial yang jelas, proyek GSW berisiko menggusur komunitas rentan dan menciptakan ketimpangan baru. Lebih lanjut, manfaat utama dari proyek ini cenderung dirasakan oleh kawasan bernilai ekonomi tinggi, seperti kawasan bisnis dan industri, sedangkan kawasan miskin tetap berada dalam kondisi terpinggirkan.

Dalam kerangka solusi jangka panjang, pendekatan GSW perlu dilengkapi dengan strategi alternatif dan komplementer. Beberapa di antaranya adalah penghentian ekstraksi air tanah melalui penyediaan sistem air bersih yang andal, pemulihan sabuk hijau pesisir, seperti mangrove, serta penataan ruang berbasis risiko yang memindahkan aktivitas dan permukiman dari zona sangat rawan banjir. Integrasi pendekatan berbasis alam dengan teknologi rekayasa modern harus menjadi landasan kebijakan pengelolaan pesisir yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, Giant Sea Wall tidak dapat dilihat sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi banjir rob di Jakarta dan Demak. Tanpa mengatasi akar permasalahan, seperti amblesan tanah, degradasi lingkungan, dan ketimpangan spasial, proyek sebesar apa pun hanya akan menjadi solusi tambal sulam.

Referensi data: Koran Jakarta, Pemprov Jateng

+
+