

Solusi Geospasial untuk Mencegah Kecelakaan Kerja di Tambang Nikel Morowali
Kecelakaan kerja di kawasan industri nikel di Morowali terus terjadi. Terbaru, pada Maret 2025 lalu, empat pekerja tertimbun longsor di area fasilitas penyimpanan tailing (FPT) di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kejadian tersebut mengakibatkan tiga pekerja tewas. Tragedi ini merupakan kali kesekian kecelakaan kerja terjadi kawasan IMIP setelah ledakan yang juga menewaskan belasan pekerja pada 2023 dan November tahun lalu.
Menurut catatan Sembada Bersama Indonesia, organisasi yang mengadvokasi isu perburuhan, ada 104 kecelakaan kerja di kawasan industri nikel sepanjang 2019 sampai 2025. Data lain dari Rasmala Hijau Indonesia, salah satu organisasi nonpemerintah di sektor perhutanan dan pertambangan, menunjukkan ada 32 orang yang tewas di smelter dan tambang selama 2024.
Mengapa Kecelakaan Kerja Terus Terjadi?
Kecelakaan kerja yang terjadi di Morowali tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Namun, penyebab utama dari kecelakaan kerja tersebut berhubungan dengan operasional keselamatan kerja perusahaan. Meski pemerintah telah menetapkan standar keselamatan kerja melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan instansi terkait, dalam praktiknya pengawasan di lapangan masih lemah. Banyak perusahaan, terutama yang berada di bawah kemitraan dengan investor asing, belum sepenuhnya menjalankan protokol keselamatan sesuai ketentuan.
Beberapa insiden kebakaran dan ledakan yang terjadi di smelter Morowali disebabkan oleh masalah teknis, seperti kegagalan sistem pendingin, korsleting listrik, atau ledakan tungku. Hal ini menunjukkan bahwa perawatan fasilitas industri dan teknologi yang digunakan belum sepenuhnya memenuhi standar keselamatan modern. Dalam banyak kasus, infrastruktur dibangun dengan kecepatan tinggi untuk mengejar produksi, tetapi tidak diimbangi dengan sistem proteksi dan perawatan yang memadai.
Dalam beberapa laporan dan investigasi, terungkap bahwa budaya keselamatan di tempat kerja belum menjadi prioritas utama bagi sebagian perusahaan. Pemakaian alat pelindung diri (APD) yang tidak konsisten, pelaporan kecelakaan yang ditutupi, serta pemahaman minim tentang protokol keselamatan menunjukkan masih lemahnya komitmen terhadap budaya kerja yang aman.
Solusi dari Teknologi Geospasial
Teknologi geospasial, seperti Sistem Informasi Geografis (SIG), penginderaan jauh, serta pemanfaatan drone dan sensor berbasis lokasi, memungkinkan perusahaan tambang untuk memahami kondisi geografis dan geologis suatu area secara menyeluruh. Sebelum kegiatan penambangan dimulai, data spasial digunakan untuk menganalisis topografi, karakteristik tanah, keberadaan zona rawan longsor, dan kedekatan dengan kawasan lindung atau pemukiman penduduk. Dengan informasi ini, perusahaan dapat merencanakan kegiatan tambang secara lebih hati-hati dan menghindari risiko bencana geologis atau kerusakan lingkungan yang tidak diinginkan.
Selain perencanaan, teknologi geospasial juga sangat efektif dalam pemantauan operasional tambang secara real-time. Melalui citra satelit, sensor di lapangan, dan drone yang dilengkapi kamera serta pemindai LiDAR, perusahaan dapat memantau pergerakan tanah, perubahan kontur lahan, serta aktivitas alat berat dan pekerja di lapangan. Pemantauan ini bukan hanya bertujuan untuk efisiensi, tetapi juga untuk deteksi dini terhadap potensi bahaya yang bisa mengancam keselamatan kerja, seperti pergeseran tanah atau banjir lokal akibat perubahan drainase tambang.
Lebih jauh, teknologi geospasial juga digunakan untuk mendesain dan mengelola jalur transportasi dalam area tambang. Dengan memetakan rute-rute yang aman dan menghindari area dengan kemiringan tajam atau tanah labil, perusahaan dapat mengurangi risiko kecelakaan kerja yang melibatkan kendaraan tambang. Sistem ini juga mendukung perencanaan lokasi titik-titik keselamatan, seperti pos pengungsian, tangki air darurat, dan alat pemadam kebakaran, semuanya berdasarkan analisis spasial yang akurat.
Sumber: Mongabay, Tempo, Taylor and Francis