Default Title
logo spatial highlights
Segregasi Spasial: Ketika Ruang Ikut Menciptakan Kesenjangan

Segregasi Spasial: Ketika Ruang Ikut Menciptakan Kesenjangan

Bayangkan sebuah kota yang terus berkembang. Gedung-gedung pencakar langit berdiri megah di pusat kota, dihuni oleh kalangan profesional, pengusaha, dan ekspatriat. Di kawasan ini, infrastruktur sangat baik, jalan mulus, transportasi publik efisien, sekolah-sekolah internasional berdiri dengan kurikulum terbaik, dan pusat kesehatan dilengkapi teknologi mutakhir. Di sini, kehidupan tampak berjalan cepat, modern, dan penuh peluang.

Namun, bergerak sedikit ke pinggir kota, pemandangan berubah drastis. Jalan mulai berlubang, rumah-rumah berdempetan, fasilitas publik terbatas, dan ruang terbuka hijau hampir tidak terlihat. Di kawasan ini, mayoritas penduduk bekerja di sektor informal, seperti buruh bangunan, pedagang kaki lima, atau pekerja rumah tangga. Mereka bangun pagi-pagi untuk menempuh perjalanan panjang menuju pusat kota, bukan untuk menikmati kemewahan kota, tetapi untuk melayani kebutuhan orang-orang yang tinggal di sana.

Kedua kelompok ini tinggal dalam kota yang sama, tetapi realitas kehidupan mereka sangat berbeda. Anak-anak mereka tidak belajar di sekolah yang sama. Mereka bermain di lingkungan yang berbeda, mendapatkan pelayanan kesehatan yang berbeda, bahkan mengembangkan pandangan hidup yang saling asing satu sama lain. Inilah yang disebut dengan segregasi spasial. Segregasi spasial adalah sebuah pemisahan secara fisik dan geografis antarkelompok masyarakat yang pada akhirnya menciptakan batas sosial yang tak kasatmata.

Segregasi spasial tidak selalu terjadi karena kebijakan yang disengaja. Kadang, ia terbentuk dari kekuatan pasar. Contohnya, harga tanah dan properti yang terus naik di pusat kota membuat masyarakat berpenghasilan rendah terdorong keluar ke pinggiran. Dalam kasus lain, segregasi bisa dipicu oleh perencanaan kota yang tidak sensitif terhadap keadilan sosial. Zonasi atau pembagian wilayah berdasarkan fungsi, yaitu perumahan elit, kawasan industri, atau permukiman kumuh, sering kali memperkuat batas-batas sosial tersebut.

Dampak dari segregasi spasial sangat nyata. Ketika masyarakat miskin terkonsentrasi di wilayah dengan kualitas hidup yang rendah, mereka lebih sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Pendidikan yang mereka terima tidak sebaik di tempat lain, kesempatan kerja terbatas, dan bahkan kesehatan pun lebih rentan karena lingkungan yang tidak sehat. Dalam jangka panjang, kota menjadi semakin terbelah bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial dan psikologis.

Masyarakat yang hidup dalam segregasi spasial juga memiliki kecenderungan untuk membentuk stereotipe dan prasangka. Jarangnya interaksi menyebabkan masing-masing kelompok cenderung membangun asumsi sendiri tentang yang lain. Hal ini memperkuat polarisasi dan mempersulit terbentuknya solidaritas sosial yang inklusif.

Oleh karena itu, memahami segregasi spasial bukan hanya soal melihat peta kota dan sebaran pemukiman. Segregasi spasial merupakan refleksi dari ketimpangan sosial, tentang siapa yang punya akses terhadap sumber daya, siapa yang mendapatkan pelayanan terbaik, dan siapa yang tertinggal di pinggiran pembangunan. Untuk membangun kota yang adil dan manusiawi, segregasi spasial harus dilihat sebagai tantangan serius yang menuntut perencanaan kota yang berpihak pada semua lapisan masyarakat, bukan hanya pada mereka yang mampu membeli tempat tinggal di pusat kota.

Sumber: IndoPROGRESS, PNAS

+
+