Default Title
logo spatial highlights
Peta Waktu Berjalan Kaki, Cara Baru Memahami Jarak Sesuai Persepsi Manusia

Peta Waktu Berjalan Kaki, Cara Baru Memahami Jarak Sesuai Persepsi Manusia

Bagi banyak orang, jarak bukan sekadar angka di peta. Kita jarang berkata, “Kantor itu lima kilometer dari rumah,” melainkan, “Ke kantor butuh 15 menit jalan kaki.” Cara kita memandang dunia lebih sering diukur dalam menit daripada meter.

Namun, peta konvensional belum sepenuhnya menangkap cara berpikir ini. Ia menyajikan garis lurus, blok bangunan, dan kontur wilayah yang kaku, tanpa mempertimbangkan bagaimana manusia bergerak di tengah riuh kepadatan yang nyata dialami. Berbagai rintangan, seperti lampu merah yang macet hingga perbaikan jalan, membuat jarak yang sama terasa berbeda ketika ditempuh.

Seorang ahli di bidang GIS, John Nelson, berhasil membuat peta dengan cara berpikir hitungan menit. Di pusat kota San Diego, Nelson memulai dari sebuah titik, yaitu Horton Plaza, di sudut Broadway dan 4th Avenue. Dengan bantuan perangkat GIS, ia memetakan sejauh mana seseorang bisa berjalan kaki dalam waktu 10, 20, dan 30 menit. Hasilnya adalah pola “cincin” perjalanan yang berkelok-kelok, mirip noda tinta di atas kertas, membentuk batas yang mengikuti hambatan kota secara detail.

Image 1

Bagi sebagian orang, peta ini sudah cukup informatif. Namun, dalam sebuah tulisan di laman Esri, Nelson mempertanyakan bagaimana jika waktu menjadi satu-satunya tolok ukur, dan bentuk geografis harus menyesuaikan? Ia pun mengubah peta tersebut.

Cincin-cincin berkelok itu diluruskan, dilebur, lalu dibentuk ulang menjadi lingkaran rapi. Hambatan fisik dihilangkan dari representasi visualnya. Peta yang tersisa hanyalah area bersih dan seimbang yang menunjukkan sejauh mana seseorang dapat berjalan dalam durasi tertentu.

Image 1

Perubahan ini bukan sekadar estetika. Ia memicu cara baru dalam memandang ruang. Alih-alih mengira-ngira jarak dengan mata, orang bisa langsung terbayang, “Dalam 20 menit, saya bisa mencapai area ini, ke segala arah.” Peta semacam ini tidak manipulatif, ia tetap berdasarkan data waktu berjalan kaki yang nyata, hanya saja disajikan dengan cara yang lebih sesuai dengan cara otak manusia memahami keterjangkauan.

Prosesnya sendiri adalah campuran antara metode resmi dan trik kreatif. Dengan menggunakan fitur “generate drive time trade areas” yang biasanya untuk kendaraan, sang pembuat peta mengatur mode menjadi “walk time,” lalu mengekspor hasilnya sebagai gambar bergeoreferensi. Setelah itu, ia membuat versi lingkaran halus, memetakan kembali data waktu, lalu “mengelabui” perangkat lunak dengan menukar berkas gambar sehingga peta yang tampil sudah terdistorsi sesuai konsep.

Hasil akhirnya adalah peta yang terasa intuitif, seperti memvisualisasikan rasa di kepala saat kita berkata, “Sekitar 10 menit dari sini.” Bagi perencana kota, ini adalah alat untuk memikirkan kembali aksesibilitas; bagi wisatawan, ini adalah panduan untuk menjelajahi kota tanpa takut tersesat; dan bagi siapa saja yang berjalan kaki setiap hari, ini adalah pengingat bahwa jarak bukan hanya soal ruang.

+
+