Default Title
logo spatial highlights
Peran Karbon Biru sebagai Pilar Mitigasi Krisis Iklim

Peran Karbon Biru sebagai Pilar Mitigasi Krisis Iklim

Laut memiliki fungsi ekologis yang jauh melampaui persepsi umum sebagai tempat wisata atau sumber daya biota laut. Salah satu peran penting laut yang kini menjadi sorotan dalam mitigasi perubahan iklim adalah sebagai penyerap karbon, yang dikenal dengan istilah karbon biru. Karbon biru merujuk pada karbon dioksida (CO₂) yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa-rawa asin. Ekosistem ini terbukti sangat efisien dalam menyimpan karbon. Menurut BIG, kawasan seperti mangrove dapat menyimpan karbon 4 hingga 10 kali lebih besar per meter perseginya dibandingkan hutan tropis di daratan.

Secara global, ekosistem karbon biru hanya mencakup sekitar 0,2% dari luas laut dunia. Namun, kawasan ini mampu menyimpan sekitar 50% karbon organik yang terperangkap di dalam sedimen laut. Kapasitas penyimpanan yang sangat besar ini menjadikan kawasan pesisir sebagai komponen krusial dalam upaya pengurangan emisi karbon global. Di Indonesia, potensi ini sangat besar mengingat negeri ini memiliki salah satu ekosistem mangrove dan lamun terluas di dunia.

Mengidentifikasi dan Memetakan Wilayah Karbon Biru

Dalam konteks pengelolaan karbon biru, informasi geospasial tematik memiliki peranan penting. Dengan dukungan teknologi geospasial, para peneliti dan pengambil kebijakan dapat memetakan sebaran ekosistem karbon biru secara akurat dan komprehensif di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Data ini mencakup informasi mengenai keberadaan dan kondisi mangrove, lamun, serta area rawa pesisir yang rentan mengalami kerusakan atau konversi lahan.

Pemetaan ini memungkinkan identifikasi terhadap wilayah-wilayah yang mengalami degradasi akibat abrasi, alih fungsi lahan menjadi tambak, atau pencemaran industri. Selain itu, teknologi ini juga memungkinkan pemantauan perubahan tutupan lahan dari waktu ke waktu sehingga dapat mendeteksi tren kehilangan vegetasi pesisir. Proses ini didukung oleh data citra satelit resolusi tinggi yang diperbarui secara berkala dan dapat digunakan untuk perencanaan konservasi maupun restorasi kawasan pesisir secara lebih efektif.

Peran Teknologi dan Inovasi dalam Pemantauan

Kemajuan teknologi geospasial kini telah melibatkan penggunaan berbagai sumber data, seperti citra satelit dari Landsat dan Sentinel, teknologi LiDAR untuk pemetaan ketinggian vegetasi, hingga penggunaan drone untuk pengumpulan data lapangan secara lebih terperinci. Integrasi big data dan kecerdasan buatan juga telah diterapkan dalam menganalisis data spasial, misalnya dengan melatih algoritma machine learning untuk mengklasifikasikan jenis vegetasi dan mendeteksi perubahan tutupan lahan secara otomatis.

Kombinasi berbagai inovasi ini memungkinkan analisis spasial yang lebih cepat, akurat, dan hemat biaya, sekaligus mendukung pengambilan keputusan berbasis data. Data geospasial yang dihasilkan dapat digunakan untuk menghitung potensi simpanan karbon, memprioritaskan lokasi restorasi, serta memantau efektivitas intervensi yang dilakukan dalam jangka panjang. Beberapa platform, seperti Global Mangrove Watch dan Google Earth Engine, kini telah menyediakan akses terbuka terhadap data pemantauan hutan mangrove dan padang lamun secara global.

Dari Data Menuju Kebijakan Lingkungan

Pemetaan spasial tidak hanya berfungsi sebagai sarana dokumentasi, tetapi juga menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan lingkungan yang berbasis bukti. Informasi geospasial tematik tentang karbon biru menjadi sangat penting dalam mendukung komitmen Indonesia dalam kerangka Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kebijakan konservasi dan restorasi ekosistem pesisir kini mulai diarahkan berdasarkan data spasial yang dapat dipertanggungjawabkan.

Beberapa inisiatif telah dikembangkan, termasuk penyusunan Peta Jalan Karbon Biru Nasional yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga riset. Basis data nasional mengenai potensi karbon biru ini juga menjadi landasan bagi pengembangan skema perdagangan karbon berbasis pesisir, yang tidak hanya mendorong perlindungan ekosistem, tetapi juga membuka peluang insentif ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan pesisir.

Upaya perlindungan karbon biru tidak dapat bergantung pada pemerintah semata. Kolaborasi lintas sektor yang melibatkan masyarakat lokal, akademisi, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem pesisir secara berkelanjutan. Teknologi geospasial juga mendukung pendekatan partisipatif, seperti pemantauan berbasis komunitas yang melibatkan masyarakat adat dan kelompok nelayan dalam pengumpulan dan validasi data di lapangan.

Menyelaraskan Konservasi, Teknologi, dan Iklim

Isu karbon biru telah menempatkan laut sebagai bagian integral dari agenda aksi iklim. Melalui pendekatan ilmiah dan penggunaan teknologi geospasial, langkah-langkah pelestarian ekosistem pesisir dapat dilakukan secara lebih terukur, transparan, dan berkelanjutan. Pemetaan yang presisi menjadi dasar untuk merancang kebijakan berbasis wilayah, mengalokasikan sumber daya secara efisien, serta melibatkan berbagai aktor dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Di tengah dinamika pembangunan pesisir yang terus meningkat, penggunaan teknologi geospasial merupakan langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan lingkungan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Ekosistem karbon biru bukan sekadar komponen ekologi, melainkan juga aset negara dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global.

Sumber: BIG

+
+