

Pentingnya Kajian Geospasial Food Estate Papua untuk Cegah Risiko Lingkungan dan Sosial
Pemerintah menyiapkan lahan hutan seluas 481 ribu hektare di Papua untuk dijadikan kawasan lumbung pangan atau food estate. Proyek strategis ini difokuskan di Wanam, Kabupaten Merauke, dan menjadi bagian dari rencana besar menuju swasembada pangan, energi, sekaligus air.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan alias Zulhas menyatakan pemerintah berkomitmen agar pembangunan berjalan dengan tata kelola yang benar. “Pemerintah terus memperkuat tata kelola kawasan swasembada pangan dengan memastikan setiap langkah dijalankan dengan cara yang tepat, serta memprioritaskan keamanan aspek lingkungan. Itu meliputi penataan tata ruang, pengaturan hak guna usaha, hingga kelengkapan administrasi lainnya,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 29 September 2025.
Zulhas menambahkan, kawasan Wanam tidak hanya difokuskan untuk produksi pangan, tetapi juga energi terbarukan. Di lokasi itu akan dikembangkan industri pengolahan etanol dari tebu dan singkong, serta biodiesel (B50) dari kelapa sawit. Proyek ini, menurutnya, menjadi penopang kemandirian bangsa sekaligus tindak lanjut pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB di New York yang menegaskan Indonesia sebagai calon lumbung pangan dunia.
Selain itu, pemerintah menyiapkan dukungan infrastruktur dan industri penunjang. Sejumlah kementerian dilibatkan, mulai dari ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertahanan, hingga Kementerian Pekerjaan Umum. “Di sana juga nanti akan dibangun propelan dan amunisi karena itu kan perbatasan, juga pelabuhan dan sarana prasarana lain,” jelas Zulhas.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid menyebut status lahan sudah melalui pelepasan kawasan hutan. “Yang dimohonkan itu 474 ribu hektare yang sudah dilepas dari kawasan hutan. Yang jadi PBT (peta bidang tanah) itu 451 ribu hektare,” katanya.
Meski langkah ini dinilai strategis bagi ketahanan pangan nasional, para ahli menilai aspek geospasial dan ekologi harus dikaji lebih dalam agar tidak menimbulkan bencana lingkungan di masa depan. Dilansir dari Betahita, berdasarkan data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024, pemerintah menargetkan 20 juta hektare lahan sebagai bagian dari swasembada energi.
Aliansi masyarakat sipil menilai kebijakan ini erat kaitannya dengan upaya mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak melalui pengembangan bioenergi dan biodiesel. Kebijakan biodiesel tengah didorong menuju B40, tetapi dinilai menimbulkan dilema antara pemenuhan kebutuhan pangan dan energi (food vs. fuel).
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menegaskan produksi bahan bakar nabati, khususnya sawit, harus memperhatikan daya dukung lingkungan. Rencana perluasan 20 juta hektare lahan ini berpotensi menambah luas perkebunan sawit hingga lebih dari dua kali lipat dari kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan. Menurut Andi, beban lingkungan ini tentunya akan mengakibatkan kerusakan lingkungan makin parah hingga terancamnya keberlangsungan hidup manusia dan biodiversitas.
Riset Satya Bumi bersama lembaga lain menunjukkan bahwa daya dukung sawit Indonesia hanya mencapai batas atas 18,15 juta hektare. Padahal, menurut data MapBiomas 2022, luas perkebunan sawit saat itu sudah 17,77 juta hektare.
Selain sawit, pemerintah juga mendorong biomassa sebagai sumber energi, salah satunya lewat program co-firing di PLTU dan pembangunan PLTBm di tiap provinsi. Data Trend Asia menyebut, dari program co-firing saja Indonesia memerlukan hutan tanaman energi (HTE) seluas 2,3 juta hektare.
Adapun rencana cadangan 20 juta hektare lahan itu terdiri atas 15,53 juta hektare lahan belum berizin dan 5,07 juta hektare lahan berizin. Dari total tersebut, 1,9 juta hektare di antaranya adalah perhutanan sosial. Sementara dari lahan yang belum berizin, 2,29 juta hektare merupakan hutan lindung dan 13,24 juta hektare hutan produksi.
Dengan mempertimbangkan skala dan tujuan proyek, analisis geospasial dapat menjadi dasar dalam menentukan daya dukung lahan, pola aliran air, hingga dampak sosial di Kabupaten Wanam. Tanpa pendekatan berbasis ruang, food estate berisiko mengusik keseimbangan ekologi dan sosial.
