

Pembangunan di Indonesia Masih Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tata Ruang Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jonahar, menyoroti pembangunan di Indonesia yang masih tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan Kementerian ATR/BPN. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi salah satu persoalan krusial yang membawa dampak luas terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi di Indonesia.
“Ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan ruang telah menyebabkan berbagai bencana dan permasalahan, mulai dari banjir, tanah longsor, munculnya permukiman kumuh, menurunnya ketahanan pangan, hingga pencemaran lingkungan,” terang Jonahar dalam presentasinya di acara Genius Mercator di GIK UGM, Sabtu, 31 Mei 2025.
Jonahar lantas menampilkan data-data untuk memperkuat hipotesisnya. Dalam kurun waktu 2015 hingga 2024, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tingginya frekuensi kejadian tanah longsor, yaitu mencapai 7.024 peristiwa. “Bencana ini tidak hanya mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan terganggunya sistem transportasi, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian masyarakat, terutama di wilayah-wilayah yang rawan longsor dan minim pengawasan tata ruang,” lanjutnya.
Masalah pemanfaatan ruang juga berkontribusi terhadap kualitas permukiman. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, sekitar 63 persen dari 2,78 juta rumah tangga di Jakarta, atau sekitar 1,77 juta rumah tangga, belum memiliki rumah yang layak huni. Kondisi ini diperburuk dengan masih adanya 450 rukun warga (RW) yang tergolong sebagai wilayah kumuh di Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Ketimpangan ini mencerminkan lemahnya pengendalian pembangunan kawasan permukiman yang tidak terintegrasi dengan sistem tata ruang yang semestinya.
Selain dampak lingkungan dan sosial, isu strategis dalam bidang pengendalian dan penertiban tanah serta ruang juga mencuat. Salah satu masalah utama adalah kurangnya kepastian hukum terhadap hak atas tanah (HGB) di kawasan perkotaan. Ketidakpastian ini menyulitkan pengawasan dan pengendalian penggunaan tanah secara adil dan efisien.
“Untuk itu, diperlukan pengendalian hak atas tanah secara menyeluruh melalui pendekatan analisis 5M serta penertiban melalui penertiban izin pemanfaatan ruang yang sesuai,” tutur Jonahar.
Ketimpangan kepemilikan tanah juga menjadi akar persoalan ekonomi yang mendalam. Banyak tanah yang telantar dan tidak digunakan secara produktif, padahal bisa menjadi solusi atas kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, penertiban terhadap penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah menjadi langkah penting dalam menciptakan keadilan agraria serta efisiensi pemanfaatan ruang yang berkelanjutan.