

Masih Banyak Negara Terkungkung oleh Segregasi Spasial, Bagaimana dengan Indonesia?
Di tengah hiruk pikuk pembangunan kota, sering kali kita lupa bahwa tidak semua orang mengalami kehidupan di kota dengan cara yang sama. Kota yang tampak modern dan berkembang sebenarnya menyimpan batas-batas sosial yang tidak selalu terlihat secara kasatmata. Salah satu bentuk nyata dari batas tersebut adalah segregasi spasial, yakni pemisahan kelompok masyarakat dalam ruang geografis berdasarkan perbedaan ekonomi, sosial, atau budaya.
Berikut beberapa negara yang masih terkungkung oleh segregasi spasial.
1. Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, kota-kota besar, seperti Chicago dan Los Angeles, mengalami segregasi spasial yang kuat berdasarkan ras dan kelas sosial. Warisan kebijakan diskriminatif, seperti redlining, membuat komunitas kulit hitam dan Latin terkonsentrasi di wilayah-wilayah dengan kualitas infrastruktur dan pendidikan yang buruk. Sekolah-sekolah di kawasan ini memiliki sumber daya yang jauh lebih rendah dibandingkan sekolah di lingkungan kulit putih yang lebih kaya. Akibatnya, segregasi ini tidak hanya menciptakan jarak fisik, tetapi juga mewariskan ketimpangan antargenerasi.
2. Afrika Selatan
Sementara itu, di Afrika Selatan, warisan apartheid masih tertanam dalam struktur kota. Meskipun sistem apartheid telah resmi dihapuskan, kota seperti Cape Town masih menunjukkan pola pemisahan yang jelas. Komunitas kulit putih tinggal di kawasan elit dekat pantai dengan fasilitas terbaik, sementara komunitas kulit hitam masih terkonsentrasi di “townships” yang dibangun pemerintah apartheid di masa lalu, wilayah yang jauh dari pusat kota, terisolasi, dan miskin infrastruktur.
3. Indonesia
Sama seperti kedua negara yang telah disebutkan, Indonesia memiliki kota-kota yang masih terpisah berdasarkan perbedaan ekonomi dan sosial. Salah satunya adalah Jakarta. Di pusat kota Jakarta, berdiri megah gedung-gedung bertingkat, apartemen mewah, dan pusat perbelanjaan kelas atas. Wilayah ini menjadi rumah bagi kalangan profesional, ekspatriat, dan kelompok ekonomi atas. Mereka menikmati infrastruktur terbaik, akses cepat ke layanan publik, dan fasilitas yang mendukung gaya hidup modern.
Namun, tidak jauh dari sana, terdapat kawasan padat penduduk, seperti Kampung Pulo atau Tanah Tinggi. Di tempat-tempat ini, masyarakat berpenghasilan rendah tinggal di rumah sempit dengan akses terbatas terhadap air bersih, transportasi publik yang layak, dan fasilitas kesehatan yang memadai.
Sementara itu, Yogyakarta mengalami segregasi spasial akibat perbedaan fungsi ruang. Pertumbuhan jumlah mahasiswa dari luar daerah mendorong munculnya apartemen dan kos-kosan di wilayah tertentu, seperti Seturan atau Babarsari. Harga tanah dan biaya hidup di wilayah ini melonjak, membuat warga lokal yang sebelumnya tinggal di sana harus pindah ke tempat lain. Ruang kota perlahan-lahan terbagi, tidak hanya berdasarkan ekonomi, tetapi juga antara pendatang dan orang lokal.
Sumber: Lincoln Institute of Land Policy, Oxford University Press