Default Title
logo spatial highlights
LiDAR Antariksa Jadi Alat Baru untuk Observasi Bumi

LiDAR Antariksa Jadi Alat Baru untuk Observasi Bumi

Dalam satu dekade terakhir, cara manusia mengamati dan memahami Bumi mengalami lompatan besar berkat hadirnya teknologi LiDAR antariksa dan pencitraan spektral. Jika sebelumnya pengamatan satelit hanya mampu menampilkan permukaan bumi dalam bentuk gambar dua dimensi, kini permukaan itu dapat dipetakan secara tiga dimensi lengkap dengan informasi kimiawi dan biologisnya. Perkembangan ini membuka peluang baru untuk menyingkap kondisi ekosistem secara lebih utuh.

LiDAR antariksa bekerja dengan menembakkan pulsa laser dari satelit ke permukaan bumi, lalu menghitung waktu yang dibutuhkan sinyal itu untuk kembali. Dari data tersebut, diperoleh ukuran jarak dan elevasi yang sangat presisi sehingga terbentuklah model topografi tiga dimensi.

Melalui misi seperti GEDI (Global Ecosystem Dynamics Investigation) dan ICESat-2, NASA telah berhasil memetakan struktur hutan, ketebalan lapisan es, hingga perubahan kontur permukaan tanah. Dengan teknologi ini, kita tidak hanya tahu “di mana” suatu lokasi berada, tetapi juga “bagaimana” bentuknya secara vertikal dan detail.

Namun, topografi saja tidak cukup untuk memahami kompleksitas bumi. Di sinilah, pencitraan hiperspektral memainkan peran penting. Kamera hiperspektral mampu menangkap cahaya dalam ratusan panjang gelombang berbeda, jauh melampaui kemampuan mata manusia yang terbatas pada spektrum merah, hijau, dan biru. Dari pola pantulan cahaya itu, ilmuwan bisa membedakan jenis vegetasi, menilai kesehatan tanaman, mengukur kualitas air, bahkan mengidentifikasi komposisi mineral pada suatu wilayah. Dengan kata lain, teknologi ini memberi kita “sidik jari spektral” dari permukaan bumi.

Ketika LiDAR dan pencitraan spektral digabungkan, diperoleh representasi multidimensi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Hasilnya berupa sebuah peta yang menampilkan tidak hanya bentuk fisik bumi, tetapi juga karakter ekologis dan geologisnya.

Misalkan sebuah hutan, LiDAR akan akan memperlihatkan ketinggian pohon dan kepadatan kanopi, sementara pencitraan hiperspektral akan mengungkap tingkat kesehatan daun dan kadar air tanah di bawahnya. Kombinasi data ini menjadi alat yang sangat berharga dalam memantau perubahan iklim, mendeteksi deforestasi, mengantisipasi bencana alam, hingga mengelola sumber daya secara berkelanjutan.

Meski demikian, teknologi ini masih menghadapi berbagai tantangan. Sensor yang dibawa satelit harus tahan terhadap kondisi ekstrem di luar angkasa, sementara volume data yang dihasilkan sangat besar dan membutuhkan kapasitas pemrosesan tinggi. Untuk itu, para peneliti kini banyak mengandalkan kecerdasan buatan (AI) dan machine learning untuk menyaring, menganalisis, dan menafsirkan data dengan lebih cepat dan akurat. Bahkan, konsep quantum sensing mulai dilirik untuk meningkatkan sensitivitas pengukuran di masa depan.

+
+