Default Title
logo spatial highlights
Krisis Ekologis: Penyebab Utama Banjir di Papua Pegunungan

Krisis Ekologis: Penyebab Utama Banjir di Papua Pegunungan

Bencana banjir yang melanda Pegunungan Papua pada April 2025 bukan sekadar peristiwa alam biasa. Kabupaten Jayawijaya di Pegunungan Papua mengalami banjir besar yang merendam 203 kampung di 34 distrik. Wilayah terdampak paling parah meliputi Distrik Maima, Pisugi, Libarek, Kurulu, Witawaya, Hubikiak, Musatfak, dan Usilimo. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat 13.503 kepala keluarga terdampak dan 672 jiwa mengungsi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan tinggi pada April 2025, dengan hujan deras mengguyur wilayah tersebut. Kepala BMKG Wamena, Subahari, menyatakan bahwa suhu udara minimum meningkat dari 10°C pada 1990-an menjadi 16°C, menunjukkan perubahan iklim yang signifikan.

Di balik air bah yang merendam ratusan kampung di Lembah Baliem, tersimpan pesan mendalam tentang krisis ekologis yang semakin parah dan dampak nyata perubahan iklim di kawasan dataran tinggi yang selama ini dianggap aman dari ancaman banjir besar. Peristiwa ini menjadi peringatan keras bahwa degradasi lingkungan, alih fungsi lahan, dan lemahnya tata kelola ruang telah menciptakan kerentanan baru bagi wilayah-wilayah adat yang dulu bersandar pada keseimbangan alam.

Hal tersebut dibenarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua yang menyoroti bahwa banjir ini bukan semata-mata akibat faktor alam, melainkan gejala dari krisis ekologis. Perubahan tutupan lahan, deforestasi masif, alih fungsi hutan, serta lemahnya pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan yang merusak di Papua menjadi pemicu utama kerentanan Wamena terhadap bencana.

Lembah Baliem, berada pada ketinggian 1.500–2.000 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh pegunungan tinggi, seperti Puncak Trikora (4.750 m). Topografi ini menyebabkan air hujan mengalir deras ke lembah sehingga meningkatkan risiko banjir. Perubahan tutupan lahan dan deforestasi memperparah kondisi ini dengan mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air.

Selain kerusakan ekologis yang berdampak pada kerugian materiel dan imateriel, banjir besar yang melanda kawasan ini turut memperparah kerentanan sosial-ekonomi yang sudah ada. Ribuan hektare kebun tradisional yang ditanami ubi, sayuran lokal, dan tanaman pangan lainnya rusak parah, sementara padang penggembalaan ternak berubah menjadi kubangan lumpur. Gangguan terhadap sistem produksi pangan lokal ini tak hanya mengancam ketahanan pangan jangka pendek, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi krisis gizi, terutama bagi kelompok paling rentan, seperti anak-anak, lansia, dan ibu hamil.

Menanggapi situasi darurat ini, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari sejak 25 April 2025. Langkah ini disertai penyaluran bantuan logistik, termasuk pengiriman lebih dari 100 ton beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dasar para pengungsi dan warga terdampak.

Meski langkah cepat ini patut diapresiasi, banyak pihak menilai bahwa penanganan darurat saja tidak cukup. WALHI Papua dengan tegas menyoroti bahwa bencana ini adalah konsekuensi dari pola pembangunan yang mengabaikan lingkungan. Proyek infrastruktur yang tidak berbasis pada kajian lingkungan yang memadai, alih fungsi kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi skala besar, serta lemahnya pengawasan terhadap eksploitasi sumber daya alam telah melemahkan daya tahan ekologis kawasan Pegunungan Papua.

Bahkan, WALHI Papua menyerukan perlunya perubahan mendasar dalam arah pembangunan. Mereka menekankan bahwa strategi mitigasi bencana tidak bisa hanya bergantung pada respons tanggap darurat dan bantuan kemanusiaan, tetapi juga harus menyentuh akar persoalan, yakni perlindungan terhadap lanskap ekologis yang menjadi sumber kehidupan masyarakat lokal.

Tanpa koreksi terhadap kebijakan tata ruang dan perencanaan pembangunan yang eksploitatif, risiko bencana serupa di masa mendatang hanya akan semakin besar. Bahkan, dampak sosial-ekonomi yang terjadi bisa lebih luas dan kompleks.

Sumber: Mongabay, Kab Jayawijaya, Kabar Papua

+
+