Default Title
logo spatial highlights
Krisis di Selat Hormuz Jadi Bukti Sinyal Bahaya Ketergantungan Dunia pada GPS

Krisis di Selat Hormuz Jadi Bukti Sinyal Bahaya Ketergantungan Dunia pada GPS

Satu kejadian di Selat Hormuz pada pertengahan Juni lalu membuka mata dunia, yaitu tanpa perlu menembakkan satu peluru pun, serangan digital mampu melumpuhkan sistem navigasi global dan menebar kekacauan di jalur pelayaran tersibuk di dunia. Lonjakan gangguan sinyal GNSS (global navigation satellite system) yang terjadi pada 13 Juni 2025 di Selat Hormuz, menyusul laporan serangan udara Israel ke Iran, bukan sekadar gangguan sesaat. Data dari GPSJam.org menunjukkan tingkat interferensi menengah (antara 2%–10%) di seluruh kawasan Teluk. Hal ini bukan kejadian terisolasi, melainkan bagian dari tren global meningkatnya perang elektronik melalui jamming, spoofing, dan serangan siber terhadap infrastruktur navigasi satelit.

Sebagai jalur sempit yang dilalui hampir 20% pasokan minyak dunia, Selat Hormuz kini menjadi medan baru bagi konflik digital. Kapal-kapal di wilayah ini berisiko terkena sinyal GPS palsu (spoofed signals) yang dapat memanipulasi lokasi mereka. Beberapa kasus bahkan menunjukkan kapal “berlayar” melintasi landasan pacu bandara atau gurun pasir. Di sektor penerbangan, gangguan ini telah menyebabkan pesawat dialihkan atau putar balik secara mendadak. Serangan semacam ini murah, sulit dilacak, tetapi sangat efektif.

Komunikasi Laser sebagai Alternatif

Salah satu solusi yang kini makin mendapatkan perhatian di tengah meningkatnya ancaman terhadap sistem navigasi satelit adalah komunikasi berbasis laser, atau yang dikenal sebagai komunikasi laser. Berbeda dengan sinyal radio yang digunakan oleh GPS, yang bersifat menyebar, berdaya rendah, dan mudah terganggu, komunikasi laser memanfaatkan cahaya terarah dalam bentuk sinar sempit yang sangat fokus.

Karakteristik inilah yang membuatnya nyaris mustahil untuk disadap tanpa terdeteksi. Selain keamanan, keunggulan lain dari sistem optik ini terletak pada kapasitas transfer data yang luar biasa besar: mencapai hingga 1.000 kali lebih tinggi dibanding sistem komunikasi radio frekuensi (RF) konvensional.

Keunggulan teknis ini bukan lagi sekadar teori di atas kertas. Dalam beberapa tahun terakhir, komunikasi laser telah berkembang pesat dari teknologi eksperimental menjadi sistem yang matang dan siap pakai. Banyak lembaga besar di dunia, termasuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat (DoD) dan aliansi pertahanan NATO, mulai mengintegrasikan teknologi ini sebagai bagian dari sistem komunikasi strategis mereka, khususnya di zona konflik yang rentan terhadap gangguan sinyal GPS. Sistem ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan GPS sepenuhnya, tetapi berfungsi sebagai redundansi kritis dalam operasi militer, navigasi kapal, hingga komunikasi satelit di wilayah yang rawan gangguan elektromagnetik.

Lebih dari sekadar pelengkap, komunikasi laser juga menjadi simbol dari pergeseran paradigma dalam keamanan infrastruktur digital dan navigasi. Dunia kini sadar bahwa ketergantungan pada satu sistem, sekuat apapun, menyisakan celah fatal. Dalam konteks tersebut, komunikasi optik menjadi salah satu teknologi yang bukan hanya menjanjikan, melainkan juga mendesak untuk diadopsi secara luas.

Saatnya Berinvestasi terhadap Alat Navigasi Alternatif

Konflik geopolitik modern menunjukkan bahwa infrastruktur seperti GPS bukan lagi zona netral. Justru karena pentingnya sistem navigasi dan waktu global, GNSS menjadi sasaran utama dalam peperangan asimetris. Negara-negara yang masih bergantung tunggal pada GPS tanpa sistem cadangan berisiko kehilangan kendali ketika serangan terjadi.

Oleh karena itu, investasi dalam teknologi alternatif, seperti optical satellite links dan komunikasi laser, bukan sekadar langkah inovatif, melainkan strategi bertahan hidup. Dunia yang makin berbahaya menuntut sistem navigasi dan komunikasi yang tahan gangguan, presisi tinggi, dan dapat diandalkan dalam kondisi apapun.

Sumber: GPS World

+
+