

Indonesia Tambah Dua Guru Besar di Bidang Geospasial
Kabar membanggakan datang dari dunia pendidikan tinggi Indonesia. Pada September 2025, dua tokoh akademik resmi dikukuhkan sebagai guru besar di bidang geospasial, yaitu Prof. Ir. Nurrohmat Widjajanti, M.T., Ph.D., IPU, ASEAN Eng., APEC Eng. dari Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Prof. Dr. Albertus Deliar, S.T., M.T. dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Pengukuhan ini bukan sekadar seremoni akademik, melainkan juga pengakuan atas perjalanan panjang riset, pengajaran, dan kontribusi nyata yang mereka berikan dalam mengembangkan ilmu kebumian, pemetaan, dan teknologi geospasial di tanah air. Dengan kehadiran mereka, Indonesia menambah barisan pakar yang memiliki otoritas intelektual dalam bidang strategis ini.
Penambahan dua guru besar tersebut menandai babak baru dalam perjalanan ilmu geospasial Indonesia. Di tengah era digitalisasi dan derasnya kebutuhan data spasial, kehadiran pemikiran kritis sekaligus visioner dari para akademisi tingkat tertinggi menjadi penopang penting dalam merumuskan arah pembangunan. Lebih dari sekadar pencapaian akademis, langkah ini menunjukkan bahwa geospasial makin diakui sebagai ilmu strategis yang mampu menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan, mulai dari perencanaan kota, pengelolaan sumber daya alam, hingga mitigasi bencana yang makin kompleks.
Geospasial sebagai Dasar Pembangunan Berkelanjutan
Dalam upacara pengukuhan, Prof. Nurrohmat menyampaikan pidato berjudul “Dari Titik ke Peta: Kontribusi Sistem Koordinat dan Sistem Referensi dalam Tata Kelola Data Geospasial untuk Mendukung Kebijakan Pembangunan yang Berkelanjutan”. Beliau menegaskan bahwa ilmu geodesi geometri adalah kunci untuk memahami bentuk dan ukuran bumi secara matematis dan geometris.
Representasi bumi, katanya, tidak pernah tunggal. Setiap negara, bahkan pada periode waktu berbeda, bisa menggunakan sistem referensi yang berlainan. Akibatnya, sebuah titik yang sama bisa menghasilkan koordinat yang berbeda jika dihitung dalam sistem yang berbeda pula. “Ketidakcocokan sistem navigasi dan kesalahan dalam analisis geospasial juga sering terjadi akibat penggunaan data dari sumber yang berbeda sistem referensinya,” terangnya.
Menurutnya, penguasaan sistem koordinat dan sistem proyeksi sangat krusial. Data geospasial yang tidak akurat berpotensi melahirkan kebijakan yang keliru, terutama pada skala pembangunan nasional. Beliau menekankan bahwa pemahaman mendalam terhadap skala peta dan sistem referensi menjadi fondasi agar data yang dihasilkan tidak menimbulkan bias atau kesalahan.
Sementara itu, Prof. Albertus Deliar dari ITB dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Peran Pemodelan dan Simulasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” menegaskan bahwa ruang bukanlah wadah statis dengan batas administratif, melainkan entitas hidup yang terbentuk dari interaksi fisik, sosial, ekonomi, dan budaya. Menurutnya, pemodelan dan simulasi geospasial bukan sekadar alat teknis, melainkan juga jembatan yang menghubungkan data, pemahaman, dan kebijakan pembangunan. Melalui pendekatan ini, dinamika ruang dapat diprediksi, mulai dari perubahan penggunaan lahan hingga pergeseran pusat aktivitas ekonomi.
Lebih jauh, Prof. Albertus mengingatkan bahwa pembangunan kerap dipersempit pada pembangunan infrastruktur semata, padahal ruang sejatinya terus bergerak. Sawah bisa berubah menjadi permukiman, hutan menjadi lahan pertanian, dan perubahan tersebut selalu saling terkait. Dengan kerangka berpikir sistem terbuka, setiap elemen ruang yang berubah akan memicu dampak berantai. “Bentuk memengaruhi fungsi, fungsi mendorong proses, dan proses kembali mengubah bentuk,” ujarnya.
Penanda Transformasi Geospasial Indonesia
Jika ditelaah bersama, pidato kedua profesor ini memberikan dua fondasi penting dalam geospasial. Prof. Nurrohmat menekankan aspek presisi data dan keakuratan posisi, yang menjadi fondasi semua pemetaan. Tanpa koordinat yang benar, model apa pun akan rapuh. Sementara itu, Prof. Albertus menyoroti interpretasi ruang sebagai sistem dinamis, yang menuntut pendekatan holistik dalam membaca perubahan dan merumuskan kebijakan.
Keduanya saling melengkapi. Koordinat yang presisi memastikan peta benar secara teknis, sedangkan pemodelan ruang yang dinamis memastikan peta relevan secara sosial, ekonomi, dan ekologis. Dari sinilah terlihat bahwa ilmu geospasial bukan sekadar teknik pengukuran, melainkan juga alat analisis strategis yang memandu arah pembangunan.
Konsep yang dikemukakan kedua profesor juga sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs). Sistem koordinat presisi mendukung proyek infrastruktur yang efisien, ramah lingkungan, dan minim konflik lahan. Sementara itu, simulasi geospasial membantu pemerintah mengantisipasi risiko urbanisasi, degradasi lingkungan, hingga perubahan iklim.
Pengukuhan Prof. Nurrohmat dan Prof. Albertus sebagai guru besar menegaskan bahwa Indonesia memiliki SDM unggul untuk mengembangkan geospasial sebagai ilmu strategis bangsa. Pesan mereka jelas, tanpa akurasi data, pembangunan bisa salah arah, dan tanpa pemahaman ruang sebagai sistem hidup, pembangunan bisa kehilangan konteks.
Dengan makin kompleksnya tantangan pembangunan, dari krisis iklim hingga urbanisasi cepat, geospasial akan menjadi kompas yang menunjukkan arah. Kehadiran dua guru besar baru ini bukan hanya capaian akademik, melainkan juga penanda bahwa Indonesia makin siap memimpin transformasi geospasial di kawasan regional maupun global.
