Default Title
logo spatial highlights
Hewan Liar Kini Aman Menyeberang Jalan di IKN Berkat Jembatan Senilai Rp2,6 Triliun

Hewan Liar Kini Aman Menyeberang Jalan di IKN Berkat Jembatan Senilai Rp2,6 Triliun

Masih hangat di ingatan kita, pada 11 Mei 2025, sebuah video memilukan viral di media sosial: Seekor induk gajah berdiri terpaku di pinggir Jalan Raya Timur-Barat Gerik–Jeli, Perak, Malaysia, menyaksikan anaknya yang tertindih truk besar dan tak bernyawa.

Peristiwa ini terjadi di kawasan hutan Belum Temengor, salah satu koridor biodiversitas penting di Asia Tenggara yang menjadi jalur migrasi satwa besar, seperti gajah, harimau, dan tapir. Alih fungsi lahan dan pembangunan jalan tanpa mempertimbangkan data ekologis dan geospasial telah mengakibatkan fragmentasi habitat dan meningkatnya konflik antara manusia dan satwa liar.

Guna meminimalkan hal tersebut, pemerintah Indonesia, melalui proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), menunjukkan komitmen terhadap konservasi satwa liar. Proyek yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk tersebut tengah membangun jembatan satwa di sekitar Jalan Tol IKN Seksi 3B, Segmen KKT Kariangau–Simpang Tempadung, Kalimantan Timur.

Jembatan ini dirancang untuk menghubungkan dua bukit di kawasan hutan lindung Sungai Wein. Melalui jembatan ini, satwa endemik, seperti orang utan, bekantan, macan dahan, dan beruang madu dapat bermigrasi tanpa terganggu oleh lalu lintas kendaraan.

Proyek ini merupakan bagian dari paket pekerjaan senilai Rp2,6 triliun dan ditargetkan rampung pada Agustus 2026. Dengan panjang mencapai 86,1 meter, jembatan ini dibangun menggunakan teknologi berkelanjutan, termasuk penggunaan mortar busa sebagai timbunan ringan untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan sekitar.

Wildlife Crossing Menjembatani Dua Dunia

Konsep pembangunan jembatan satwa atau wildlife crossing sebagai solusi untuk meminimalkan konflik antara infrastruktur dan keanekaragaman hayati telah mendapatkan tempat penting dalam perencanaan tata ruang berbagai negara. Praktik ini tidak hanya berangkat dari kepedulian ekologis, tetapi juga dari kebutuhan akan solusi berbasis bukti untuk mengatasi fragmentasi habitat yang disebabkan oleh jalan raya dan proyek pembangunan besar lainnya. Hasilnya terbukti positif, baik dalam mengurangi angka kecelakaan yang melibatkan satwa liar maupun dalam memulihkan koridor ekologis yang terputus.

Salah satu contoh paling awal dan sukses dapat ditemukan di Kanada, tepatnya di Taman Nasional Banff, Alberta. Di kawasan ini, pemerintah membangun enam jembatan satwa dan 38 terowongan di atas Trans-Canada Highway, jalan nasional yang melintasi habitat satwa liar utama. Sejak infrastruktur ini mulai dioperasikan, jumlah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan hewan besar, seperti rusa, beruang, dan serigala, menurun drastis. Selain keselamatan, pembangunan ini secara ilmiah terbukti mengembalikan konektivitas ekologis, memungkinkan satwa melanjutkan migrasi musiman atau mencari pasangan tanpa hambatan buatan manusia.

Keberhasilan Kanada menginspirasi pendekatan yang lebih sistemik di Belanda, sebuah negara yang meski kecil, memiliki kesadaran ekologis yang tinggi. Di sana, pembangunan ecoducts atau jembatan satwa tidak hanya menjadi solusi sesekali, tetapi telah menjadi bagian dari kebijakan tata ruang nasional.

Belanda kini memiliki lebih dari 600 ecoducts yang tersebar luas. Salah satu yang paling mencolok adalah Natuurbrug Zanderij Crailoo, yang membentang sepanjang 800 meter dan menjadi jembatan satwa terpanjang di dunia. Infrastruktur ini bukan hanya untuk hewan besar, seperti rusa dan babi hutan, tetapi juga mendukung mobilitas amfibi, reptil, dan mamalia kecil, menunjukkan bahwa skala dan kompleksitas habitat tidak boleh diabaikan dalam konservasi.

Di benua lain, pendekatan serupa tengah dikembangkan di Amerika Serikat, tepatnya di negara bagian California. Di sana, proyek Wallis Annenberg Wildlife Crossing sedang dibangun di atas 101 Freeway, sebuah jalan tol yang selama ini memisahkan dua habitat utama singa gunung. Fragmentasi ini telah menyebabkan isolasi genetik, membuat populasi rentan terhadap kepunahan akibat rendahnya keragaman genetik. Jembatan ini dirancang bukan hanya sebagai jalan lintas, tetapi sebagai perluasan habitat alami, dilengkapi vegetasi lokal, sistem drainase ramah lingkungan, dan penghalang cahaya agar tidak mengganggu satwa nokturnal.

Secara keseluruhan, beragam inisiatif di berbagai negara tersebut memberikan pelajaran penting, pembangunan infrastruktur tidak harus berlawanan arah dengan pelestarian lingkungan. Dengan pendekatan yang terencana, berbasis data geospasial dan ekologi, serta komitmen jangka panjang, jembatan satwa terbukti dapat menjembatani dua dunia pembangunan dan konservasi.

Lebih dari sekadar struktur beton, jembatan ini adalah simbol rekonsiliasi antara manusia dan alam, serta bukti bahwa inovasi teknologi bisa dan harus diarahkan untuk mendukung keberlanjutan ekosistem. Keberhasilan mereka menjadi inspirasi kuat bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang kini tengah membangun Ibu Kota Nusantara dengan janji menjadikannya sebagai kota hutan berkelanjutan di abad ke-21.

Sumber: Kompas, Mental Floss

+
+