Default Title
logo spatial highlights
Guru Besar UI: Perlu Regulasi Spasial-Ekologis untuk Atasi Overfishing

Guru Besar UI: Perlu Regulasi Spasial-Ekologis untuk Atasi Overfishing

Guru Besar Universitas Indonesia (UI) di bidang Geografi Manusia, Lingkungan, dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut, Prof. Dewi Susiloningtyas, menegaskan pentingnya pengaturan dalam sistem sosial-ekologi untuk mencegah pemanfaatan sumber daya laut secara berlebihan (overfishing). Ia menyoroti bahwa interaksi ruang antara manusia dan lingkungan pesisir memerlukan regulasi yang berbasis pada pemahaman spasial.

Menurut Tyas, sistem sosial-ekologi dibentuk oleh keterkaitan spasial unit-unit fisik, biologis, dan geografis dengan aktor sosial dan kelembagaan. Dalam struktur sosial, nilai, perilaku, pengetahuan, teknologi, serta skala komunitas menjadi faktor penting yang memengaruhi dinamika interaksi dengan ekosistem. Sebaliknya, sistem ekologi mencakup seluruh elemen sumber daya alam yang dimanfaatkan manusia dari jasa-jasa ekosistem yang tersedia di wilayah pesisir dan laut.

“Konektivitas spasial dalam sistem ini tidak hanya menyatukan ruang ekologis dan sosial, tetapi juga menentukan bagaimana sumber daya dimanfaatkan dan dikelola,” ujar Tyas dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025.

Ia menekankan bahwa panjang garis pantai Indonesia yang mencapai sekitar 99.093 km menyimpan potensi sumber daya laut yang sangat besar. Namun, tanpa pengelolaan berbasis spasial yang tepat, eksploitasi yang berlebihan dapat merusak ekosistem pesisir dan laut yang rentan, sekaligus mengancam ketahanan pangan serta mata pencaharian jutaan penduduk yang bergantung padanya.

Dalam konteks geografi manusia, lanjut Tyas, penting untuk memahami bagaimana ruang dan tempat dikonstruksi secara sosial serta bagaimana aktivitas manusia memberi dampak terhadap permukaan bumi, khususnya pada wilayah pesisir. Di sinilah letak urgensi pendekatan spasial dalam mengelola interaksi antara manusia dan lingkungan.

Untuk memperkuat sistem sosial-ekologi tersebut, ia merekomendasikan penggunaan agent-based modeling (ABM), yaitu pendekatan pemodelan spasial yang mempertimbangkan perilaku aktor individu dalam pengelolaan sumber daya. Model ini memungkinkan simulasi kebijakan yang dapat diarahkan pada keberlanjutan dan tanggung jawab sosial dalam pemanfaatan sumber daya.

Menurut Tyas, pemanfaatan ruang pesisir dan laut tidak dapat dilepaskan dari risiko kerusakan ekologis, terutama di kawasan-kawasan kritis yang menjadi habitat utama sumber daya. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap area ini menjadikan pengelolaan spasial sebagai kunci keberlanjutan.

Sumber: Antara

+
+