

Gelaran ICST 2025 Jadi Bukti Remote Sensing Mampu Atasi Berbagai Tantangan Tata Ruang dan Kebencanaan
International Conference on Science and Technology (ICST) 2025 yang diadakan di Universitas Gadjah Mada pada 30–31 Juli 2025 yang lalu, menjadi panggung penting bagi para ilmuwan dan praktisi geospasial untuk menunjukkan peran strategis teknologi remote sensing atau pengindraan jauh dalam mengatasi persoalan-persoalan krusial, seperti tata ruang, kebencanaan, hingga perubahan iklim.
Cecep Pratama, S.Si., M.Si., D.Sc., dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, selaku ketua koordinator simposium ICST 2025, menekankan bahwa teknologi geospasial saat ini memainkan peran sentral dalam menjawab tantangan-tantangan global, terutama yang berkaitan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Tidak hanya sebatas deteksi bencana, pemanfaatan remote sensing juga meluas pada perencanaan kota berkelanjutan, pengelolaan transportasi, dan pengawasan lingkungan secara berkala.
Mengurai Persoalan Global Lewat Remote Sensing
Dalam bidang kebencanaan, misalnya, data spasial dimanfaatkan untuk membangun zonasi risiko berdasarkan kondisi geologi dan struktur tanah, terutama di kawasan dengan sesar aktif. Informasi semacam ini sangat krusial dalam menentukan kebijakan pembangunan infrastruktur serta mitigasi risiko bencana.
Selain itu, remote sensing juga digunakan untuk memantau aktivitas ekstraksi air tanah yang berlebihan, yang dapat menyebabkan penurunan muka tanah. Fenomena ini bukan hanya berdampak pada kondisi geofisik wilayah, tetapi juga menjadi indikator dari tekanan lingkungan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Teknologi ini memungkinkan pengambil kebijakan untuk merespons cepat dan berbasis data.
Dalam konteks tata ruang, pengamatan satelit memungkinkan pemantauan perubahan tutupan lahan yang terjadi secara bulanan. Perubahan ini dapat menjadi dasar dalam prediksi tren pemanfaatan lahan dan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar lebih adaptif terhadap dinamika spasial.
Tidak hanya itu, aspek spasial juga sangat dibutuhkan dalam perencanaan transportasi, di mana data spasial digunakan untuk merancang jalur-jalur transportasi yang efisien dan minim konflik penggunaan lahan. Di sisi lain, analisis spasial juga penting untuk memetakan ruang terbuka hijau yang makin terdesak oleh pembangunan. Identifikasi lahan hijau menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan mengurangi efek urban heat island.
Remote Sensing sebagai Fondasi Penyusun Kebijakan
Salah satu kemajuan signifikan yang disorot dalam ICST 2025 adalah meningkatnya aksesibilitas terhadap teknologi geospasial melalui pengembangan graphical user interface (GUI). Selama ini, analisis geospasial cenderung sulit diakses karena berbasis command-line interface (CLI) yang mengharuskan pengguna memahami kode pemrograman.
Namun kini, beberapa komunitas mulai mengembangkan antarmuka yang lebih ramah pengguna sehingga memungkinkan kalangan non-teknis, seperti perencana kota dan akademisi di bidang kehutanan atau pertanian, untuk mengolah dan menganalisis data spasial secara mandiri. Hal ini membuka ruang kolaborasi lintas bidang yang lebih luas dan mempercepat pemanfaatan teknologi geospasial dalam berbagai sektor.
Lebih jauh , perubahan besar juga tampak pada skala riset yang berkembang dari lokal menuju regional dan bahkan global. Jika dahulu penelitian spasial cenderung terbatas pada kota atau kabupaten tertentu, kini, berkat ketersediaan data terbuka seperti citra satelit dan data meteorologi, para peneliti dapat melakukan analisis dalam cakupan yang lebih luas.
Hal ini mendorong pemanfaatan pendekatan big data dan algoritma komputasional untuk mengolah data berskala besar secara efisien. Bahasa pemrograman, iterasi, dan teknik pengolahan batch kini menjadi bagian tak terpisahkan dari metodologi kerja para analis spasial. Dengan pendekatan ini, peneliti dapat memetakan pola, mengidentifikasi tren, dan menyusun rekomendasi kebijakan dengan dampak yang lebih luas.
ICST 2025 membuktikan bahwa teknologi remote sensing bukan hanya alat bantu teknis, melainkan juga bagian integral dalam menyusun solusi spasial terhadap tantangan pembangunan, lingkungan, dan kebencanaan. Perkembangan antarmuka pengguna, pemanfaatan big data, dan perluasan cakupan riset menjadi indikator bahwa bidang ini siap menjadi motor penggerak transformasi kebijakan berbasis data. Remote sensing kini jadi tulang punggung dalam menyusun kebijakan ruang dan lingkungan yang berkelanjutan.
