

Bagaimana Teknologi Geospasial Mendorong Infrastruktur Hijau?
Meningkatnya pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim mendorong manusia untuk mengubah pola hidup mereka. Gaya hidup yang berorientasi pada keberlanjutan kini mulai diadopsi di berbagai negara. Di Indonesia, penerapan gaya hidup ramah lingkungan tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi juga mulai diintegrasikan oleh banyak korporasi. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pembangunan gedung-gedung berwawasan lingkungan serta pengembangan ruang terbuka hijau. Pembangunan yang ramah lingkungan tersebut disebut sebagai infrastruktur hijau.
Infrastruktur Hijau adalah sebuah konsep, upaya, atau pendekatan untuk menjaga lingkungan yang berkelanjutan melalui penataan ruang terbuka hijau dan menjaga proses-proses alami yang terjadidi alam seperti siklus air hujan dan kondisi tanah. Konsep infrastruktur hijau adalah membentuk lingkungan dengan proses alami yang terjaga; meliputi manajemen air hujan, manajemen kualitas air, hingga pada mitigasi banjir. Arah dari penerapan infrastruktur hijau adalah untuk mendukung communities development dengan meningkatkan kondisi lingkungan dan memelihara ruang terbuka hijau.
Penerapan infrastruktur hijau tentang bagaimana merencanakan dan merancang sebuah kota hijau di Indonesia selaras dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan undang-undang tersebut perlu kesadaran bersama pemerintah, pengembang, perencana, dan juga warga kota dalam mengintegrasikan kebijakan pembangunan berkelanjutan di semua kegiatan operasional yang dilakukan.
Penataan kota dapat bertumpu pada empat hal utama yakni penataan transportasi massal ramah lingkungan, perumahan (kawasan hunian vertical), daur ulang sampah, serta Ruang Terbuka Hijau (RTH). Lebih lanjut, kota harus didukung oleh sistem jaringan RTH yang terstruktur yang meliputi taman atau kebun rumah, taman lingkungan, taman kota, lapangan olah raga, hutan kota/ lindung/ mangrove, kebun raya, dan daerah tangkapan air berupa situ/ waduk/ danau yang dihubungkan dengan koridor pepohonan jalur hijau jalan, jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, bantaran rel kereta api, saluran umum tegangan tinggi, sungai, hutan lindung, dan pengolahan sampah ramah lingkungan.
Beriringan dengan semangat tersebut, ada teknologi yang mampu untuk mendorong infrastruktur hijau agar lebih masif digerakkan. Teknologi geospasial sering menjadi alat untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan. Dengan datanya, teknologi geospasial membantu memetakan kondisi dan menjadi dasar dalam merancang perubahan infrastruktur di suatu kota.
Peran Teknologi Geospasial
1.Perencanaan tata ruang
Teknologi geospasial membantu memetakan area yang paling cocok untuk pembangunan infrastruktur hijau seperti taman kota, jalur hijau, dan panel surya tanpa merusak ekosistem seperti kawasan konservasi, lahan basah, atau habitat satwa.
2.Fungsi pemantauan
Dengan satelit atau drone, bisa memonitor kualitas udara, air, dan tanah secara berkala. Ini membantu memastikan bahwa proyek-proyek infrastruktur hijau tetap ramah lingkungan selama pembangunan maupun operasional.
3.Manajemen risiko
Data geospasial memungkinkan perhitungan risiko banjir, tanah longsor, kekeringan, dan bencana lainnya. Ini sangat penting agar infrastruktur hijau yang dibangun benar-benar adaptif terhadap perubahan iklim dan tidak memperparah kerentanan lingkungan.
4.Optimasi lokasi
Sistem Informasi Geografis (SIG) membantu memilih lokasi paling optimal untuk infrastruktur seperti taman atap, instalasi energi terbarukan, atau kawasan hijau baru, berdasarkan faktor-faktor seperti intensitas matahari, arah angin, dan drainase alami.
sumber : Media Neliti , American Rivers, GeoWeek