Default Title
logo spatial highlights
ATR/BPN Jelaskan Ketimpangan Kepemilikan Lahan Jadi Masalah Utama di Indonesia

ATR/BPN Jelaskan Ketimpangan Kepemilikan Lahan Jadi Masalah Utama di Indonesia

Direktur Jenderal dan Pengendalian Tata Ruang Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jonahar, mengatakan bahwa ketimpangan kepemilikan lahan jadi masalah utama di Indonesia. Menurutnya, ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia mencerminkan salah satu masalah struktural paling mendasar dalam sektor agraria. “Data menunjukkan bahwa sebanyak 68% lahan di Indonesia dikuasai oleh hanya 1% dari populasi,” terang Jonahar dalam acara Genius Mercator 2025 di Pendapa GIK UGM, Sabtu, 31 Mei 2025.

Jonahar melanjutkan bahwa data tersebut menandakan sebagian besar lahan produktif dikuasai oleh segelintir orang atau korporasi besar. Sementara, mayoritas masyarakat, terutama petani kecil, hanya memiliki lahan dalam jumlah yang sangat terbatas.

“Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa 60,84% petani di Indonesia tergolong sebagai petani gurem, yakni mereka yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Situasi ini menyebabkan kesenjangan yang signifikan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria,” lanjut Jonahar.

Lebih lanjut dalam presentasinya, Jonahar menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan lahan yang sangat tinggi juga tercermin dari koefisien gini kepemilikan lahan yang mencapai angka 0,48 menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2022. Angka ini menunjukkan bahwa distribusi kepemilikan lahan di Indonesia jauh dari kata adil.

Ketimpangan lahan membawa berbagai dampak negatif yang kompleks dan saling berkaitan. Di tingkat sosial, ketimpangan ini memperburuk kemiskinan dan memperlebar jurang ketimpangan sosial, khususnya di wilayah pedesaan yang sangat bergantung pada sektor pertanian.

Ketimpangan ini juga menjadi akar dari konflik agraria yang terus berulang. “Dalam rentang waktu 2015 hingga 2024, tercatat sebanyak 3.234 konflik agraria yang memengaruhi sekitar 1,8 juta rumah tangga,” lanjut Jonahar.

Dampak lainnya adalah pada aspek ketahanan pangan. Ketika lahan terkonsentrasi di tangan segelintir pihak yang cenderung mengutamakan komoditas ekspor atau proyek non-pangan, produksi pangan lokal menjadi terhambat. Akibatnya, Indonesia menjadi semakin bergantung pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Selain itu, ekspansi lahan skala besar, yang kerap dilakukan demi kepentingan industri ekstraktif dan perkebunan besar, sering kali memicu deforestasi dan degradasi lingkungan yang memperparah krisis ekologis yang sudah ada,” ujar Jonahar.

+
+