

Apa Itu Analisis Geospasial Bayesian? Metode yang Berhasil Petakan Sebaran TBC di Afrika
Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan global dan menempati peringkat pertama sebagai penyebab kematian akibat penyakit menular. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022, diperkirakan terdapat 10,6 juta kasus TBC secara global, dengan 1,6 juta kematian.
Afrika merupakan wilayah kedua paling terdampak setelah Asia Tenggara, menyumbang sekitar seperempat dari total beban global TBC. Namun, upaya pengendalian TBC di benua ini masih menghadapi tantangan besar, terutama karena keterbatasan data tentang distribusi penyakit di tingkat lokal dan subnasional. Pemahaman yang kurang mendalam mengenai distribusi spasial TBC ini menjadi hambatan utama dalam merancang strategi intervensi yang efektif dan efisien.
Untuk menjawab tantangan ini, sebuah studi lintas negara di Afrika baru-baru ini mengaplikasikan metode analisis berbasis teknologi dan statistik mutakhir, salah satunya adalah analisis geospasial Bayesian. Metode ini digunakan untuk mengestimasi prevalensi TBC di tingkat nasional dan subnasional. Studi tersebut mengumpulkan data dari 50 survei berbasis populasi di 14 negara Afrika, menghasilkan 212 titik data geolokasi yang kemudian dianalisis bersama sejumlah variabel lingkungan.
Data tersebut meliputi suhu udara, curah hujan, ketinggian wilayah, dan aksesibilitas terhadap pusat kota. Variabel-variabel ini dikaitkan dengan data prevalensi TBC melalui model geospasial Bayesian untuk menghasilkan peta risiko penyebaran penyakit yang lebih komprehensif.
Mengenal Analisis Geospasial Bayesian
Metode ini merupakan kombinasi dari pemodelan geostatistik dan prinsip probabilitas Bayesian yang digunakan untuk memperkirakan pola distribusi suatu fenomena berdasarkan data yang terbatas. Dalam konteks epidemiologi, analisis geospasial Bayesian dapat digunakan untuk memetakan distribusi penyakit, memperkirakan wilayah berisiko tinggi, serta mengevaluasi pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadap penyebaran penyakit. Keunggulan utama pendekatan ini terletak pada kemampuannya menghasilkan prediksi yang akurat meskipun data yang tersedia tidak merata secara geografis.
Hasil dari studi di Afrika tersebut menunjukkan temuan yang sangat penting. Dari estimasi model, tercatat ada sekitar 1,28 juta kasus TBC di 14 negara yang dianalisis. Negara dengan jumlah kasus tertinggi adalah Nigeria dengan sekitar 460.000 kasus, diikuti oleh Mozambik dengan 120.000 kasus. Di sisi lain, negara dengan jumlah kasus terendah adalah Guinea-Bissau dan Rwanda, masing-masing hanya mencatat kurang dari 2.500 kasus. Prevalensi TBC di tingkat nasional sangat bervariasi, berkisar antara 0,25 hingga 7,32 kasus per 1.000 penduduk.
Namun, variasi ini menjadi jauh lebih kompleks ketika dilihat dalam skala subnasional, di mana terdapat perbedaan yang signifikan antarwilayah dalam satu negara. Hal ini membuktikan bahwa pemetaan risiko penyakit tidak bisa hanya bergantung pada data agregat nasional.
Lebih jauh lagi, model ini juga mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara prevalensi TBC dan kondisi lingkungan. Faktor-faktor, seperti suhu udara dan curah hujan, diketahui berkorelasi positif dengan tingginya prevalensi TBC. Artinya, makin tinggi suhu dan curah hujan, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya kasus TBC.
Demikian pula, aksesibilitas terhadap pusat kota, diukur dari waktu tempuh dalam menit, juga memiliki hubungan positif, yang menunjukkan bahwa wilayah dengan akses lebih cepat ke pusat kota cenderung memiliki angka TBC yang lebih tinggi. Sebaliknya, ketinggian wilayah menunjukkan hubungan negatif, yaitu makin tinggi lokasi suatu daerah, makin rendah angka prevalensi TBC. Hubungan ini mencerminkan pentingnya mempertimbangkan faktor geografis dan ekologis dalam desain kebijakan kesehatan masyarakat.
Saatnya Belajar dari Afrika
Temuan ini memiliki implikasi besar terhadap strategi pengendalian TBC di Afrika. Variasi spasial yang ditemukan menekankan bahwa pendekatan intervensi yang seragam di seluruh wilayah tidak lagi efektif. Sebaliknya, dibutuhkan strategi yang berbasis lokasi, di mana intervensi difokuskan pada wilayah-wilayah dengan risiko tinggi yang telah diidentifikasi melalui pemetaan geospasial.
Pemerintah dan lembaga kesehatan dapat memanfaatkan peta risiko ini untuk mengarahkan program deteksi dini, pengobatan, dan edukasi masyarakat secara lebih terfokus. Misalnya, program penyuluhan dan skrining massal dapat diprioritaskan di wilayah dengan prediksi prevalensi tinggi, sementara daerah dengan risiko rendah dapat difokuskan pada penguatan sistem surveilans dan pencegahan.
Lebih dari sekadar alat pemetaan, analisis geospasial Bayesian juga membuka peluang untuk meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian sumber daya kesehatan. Dalam konteks benua Afrika yang memiliki tantangan logistik dan keterbatasan infrastruktur, pemanfaatan data dan teknologi ini memungkinkan perencanaan yang lebih tepat sasaran. Bahkan, pendekatan ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk memantau efektivitas program pengendalian TBC dari waktu ke waktu sehingga memungkinkan evaluasi dinamis dan adaptif terhadap perubahan pola penyebaran penyakit.
Dengan mengintegrasikan data spasial, lingkungan, dan epidemiologi, metode ini mampu memberikan gambaran yang lebih rinci dan akurat tentang distribusi penyakit. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman kita terhadap dinamika penyebaran TBC, tetapi juga menjadi dasar ilmiah yang kuat untuk merancang kebijakan kesehatan berbasis bukti. Di tengah tantangan global dalam memerangi TBC, langkah seperti ini patut diapresiasi dan dijadikan model bagi wilayah lain dengan beban penyakit serupa.
Sumber: Springer Nature, Taylor & Francis