

Anggota DPR RI Pertanyakan Manfaat Langsung dari BIG
Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi PKS, Ateng Sutisna, secara tegas mempertanyakan manfaat langsung program Badan Informasi Geospasial (BIG) bagi masyarakat. Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama BIG yang digelar pada Senin, 15 Juli 2025, Ateng menyoroti rumitnya akses terhadap data geospasial yang dikelola oleh BIG, meski lembaga tersebut mengelola anggaran yang cukup besar, termasuk dari skema pinjaman dan/atau hibah luar negeri (PHLN).
Menurut Ateng, data geospasial seperti peta dasar dan sistem informasi geospasial seharusnya dapat diakses publik secara luas tanpa harus melewati prosedur administratif yang berbelit. “Seluruh anggaran BIG bersumber dari rakyat, baik melalui APBN maupun pinjaman luar negeri. Namun, masyarakat masih harus melalui proses administrasi yang berbelit hanya untuk mengakses peta atau data geospasial yang seharusnya menjadi barang publik,” ujar anggota Fraksi PKS tersebut dalam keterangan tertulis.
Kesenjangan Teknologi dan Ketergantungan Asing
Dalam forum yang sama, Ateng juga membandingkan layanan BIG dengan platform global, seperti Google Maps dan Google Earth, yang jauh lebih mudah diakses. Ia mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran negara jika hasil akhirnya masih kalah dengan platform swasta luar negeri. “Google saja tidak meminta anggaran dari negara, tetapi layanannya bisa diakses dengan mudah lewat gadget. Sementara kita, yang sudah menganggarkan dana besar, justru menyulitkan masyarakat sendiri,” katanya.
Lebih lanjut, Ateng menyoroti bahwa proyek-proyek BIG yang didanai PHLN justru dinikmati kembali oleh vendor asing dalam bentuk jasa konsultan dan perangkat lunak impor. Hal ini dinilai ironis, mengingat data geospasial nasional adalah aset strategis. “Ini saatnya kita perkuat peran konsultan dalam negeri dan kembangkan software geospasial buatan anak bangsa,” tambahnya.
Ateng mengingatkan bahwa minimnya ketersediaan peta dasar dan tematik dapat memicu konflik sosial, terutama terkait batas wilayah administratif. Ia mencontohkan berbagai sengketa wilayah yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, hingga pesisir Jawa Timur. “Tak jarang konflik antardesa pun disebabkan belum adanya batas administratif yang dipetakan secara spasial,” tegasnya.
Tetap Optimis
Meski melontarkan kritik, Ateng mengapresiasi inisiatif BIG yang telah meluncurkan portal Kebijakan Satu Peta dan Tanahair.Indonesia untuk membuka akses bagi publik. Namun, ia menegaskan perlunya perbaikan dari sisi antarmuka pengguna serta sosialisasi yang lebih luas. Ia juga mendorong evaluasi menyeluruh terhadap pemanfaatan 151 Informasi Geospasial Tematik yang hingga kini masih terbatas penggunaannya. “Kalau kita ingin meminimalisasi konflik tata ruang dan mempercepat pembangunan, maka akses terhadap peta-peta ini harus dibuka lebih luas,” tegasnya.
Pernyataan kritis Ateng Sutisna dalam forum Rapat Dengar Pendapat bersama BIG menyoroti pentingnya akuntabilitas dan keberpihakan dalam pengelolaan data geospasial nasional. Meski mengelola anggaran besar, termasuk dari skema pinjaman luar negeri, manfaat langsung dari berbagai program BIG dinilai belum sepenuhnya dirasakan oleh publik. Akses data yang masih terbatas, keterlibatan vendor asing, serta belum optimalnya pemanfaatan peta tematik menjadi catatan penting yang harus segera dievaluasi.
Kritik tajam Ateng juga membuka ruang refleksi terhadap arah pembangunan sistem geospasial nasional yang idealnya mendukung transparansi informasi, efisiensi tata ruang, dan kemandirian teknologi. Dengan memaksimalkan sumber daya dalam negeri serta membuka akses data secara lebih inklusif, BIG diharapkan dapat mewujudkan layanan geospasial yang benar-benar menjadi hak publik, bukan sekadar produk birokrasi tertutup.
Meski demikian, apresiasi terhadap inisiatif portal Kebijakan Satu Peta dan Tanahair.Indonesia menjadi harapan awal bahwa transparansi dan partisipasi publik dalam informasi geospasial masih mungkin diperkuat. Evaluasi menyeluruh terhadap aksesibilitas, efektivitas program, dan kedaulatan data harus menjadi agenda prioritas jika Indonesia ingin membangun tata kelola geospasial yang inklusif dan berkelanjutan.
Sumber: Pikiran Rakyat
