

Amerika Serikat Investasi Bidang Geospasial, Akan Jadi Tren Perang Baru?
Army Geospatial Center, salah satu bagian dari Korps Insinyur Angkatan Darat Amerika Serikat mengumumkan pemberian kontrak senilai $499 juta kepada delapan perusahaan untuk mengembangkan teknologi geospasial generasi berikutnya. Proyek ini merupakan bagian dari program Geospatial Research, Integration, Development, and Support IV (GRIDS IV) yang akan berjalan hingga tahun 2030.
Tujuan dari pemberian kontrak tersebut adalah untuk memberikan keunggulan strategis bagi militer AS di era peperangan modern, di mana penguasaan informasi digital menjadi sama pentingnya dengan kekuatan senjata. Pengumuman kontrak yang dilakukan di Alexandria, Virginia ini melibatkan kombinasi perusahaan besar dan inovator kecil. Nama-nama besar seperti General Dynamics Information Technology dan Leidos, keduanya berbasis di Virginia, sudah dikenal luas di kalangan pertahanan dengan rekam jejak panjang dalam teknologi militer.
Meski begitu, keikutsertaan perusahaan-perusahaan kecil seperti Solis Applied Science (Charlottesville, Virginia) dan OM Group (Piscataway, New Jersey) menarik perhatian. Mereka akan bersaing dengan firma lain seperti Royce Geospatial Consultants, Reinventing Geospatial, Research Innovations, dan Strategic Alliance Consulting dalam mengerjakan proyek-proyek berbasis pesanan (task orders) untuk menyediakan solusi geospasial mutakhir.
Army Geospatial Center menargetkan pemanfaatan keahlian para mitra ini dalam pengumpulan, pemrosesan, dan distribusi data geospasial. Data tersebut meliputi informasi tentang permukaan bumi, bentang alam, serta aktivitas manusia, yang menjadi komponen vital dalam operasi militer, dari kawasan Indo-Pasifik hingga Kutub Utara.
Dengan meningkatnya ketegangan global dan kemajuan teknologi serupa dari negara pesaing seperti Tiongkok dan Rusia, GRIDS IV menjadi langkah strategis untuk memastikan AS tetap unggul dalam medan peperangan digital yang semakin kompleks dan tersembunyi. Teknologi geospasial sendiri bukanlah hal baru dalam dunia militer. Pada Perang Dunia II, pasukan Sekutu mengandalkan peta kertas dan foto udara untuk merencanakan invasi besar seperti D-Day. Pada 1990-an, kehadiran GPS merevolusi navigasi dan memungkinkan serangan presisi dalam konflik seperti Perang Teluk.
Kini, tuntutannya jauh lebih tinggi. Perang modern membutuhkan data real-time dari satelit, drone, hingga sensor darat yang dipadukan menjadi intelijen siap pakai. GRIDS IV hadir untuk melanjutkan warisan tersebut—bukan hanya untuk memetakan medan, tetapi juga memprediksi pergerakan musuh, membimbing kendaraan otonom, serta mendukung operasi bantuan bencana.
Lingkup program ini sangat luas, mencakup riset algoritma baru, integrasi data dari berbagai sumber, dan dukungan operasional bagi pasukan di kawasan seperti Komando Utara AS, Komando Afrika, dan Komando Indo-Pasifik, sebagaimana dijelaskan dalam pengumuman resmi Januari 2024 di situs SAM.gov.
Hal yang membedakan GRIDS IV dari versi sebelumnya adalah skala dan ambisinya. Army Geospatial Center telah mengembangkan teknologi ini selama beberapa dekade. Kontrak GRIDS III yang dimulai pada 2018, senilai $200 juta, berfokus pada penyelarasan standar geospasial di lingkungan Angkatan Darat dan pengembangan sistem terintegrasi untuk mendukung para prajurit.
Sumber: BULGARIANMILITARY