

Taman Kota vs Mall : Pergeseran Ruang Sosial atau Ketidakjelasan Roadmap Pembangunan?
Dalam dua dekade terakhir, pembangunan mal di kota-kota besar Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, terdapat 649 pusat perbelanjaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Provinsi Jawa Barat memimpin dengan jumlah terbanyak yakni 118 mal, diikuti oleh DKI Jakarta sebanyak 96 unit. Kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, dan Makassar juga turut menyumbang angka signifikan dalam pertumbuhan pusat perbelanjaan ini.
Geliat pembangunan tersebut tidak lepas dari meningkatnya daya beli masyarakat, perubahan gaya hidup urban yang menempatkan mal sebagai ruang hiburan dan rekreasi keluarga, serta insentif ekonomi bagi investor properti. Namun, pertumbuhan ini menimbulkan dilema baru dalam konteks tata ruang dan kualitas hidup di perkotaan.
Mall Menggeser Ruang Terbuka Hijau dan Taman Kota
Sayangnya pembangunan mal kerap mengorbankan ruang terbuka hijau (RTH) yang seharusnya menjadi paru-paru kota dan ruang sosial publik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota diwajibkan memiliki minimal 30% dari total wilayahnya sebagai RTH.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak kota besar masih jauh dari angka tersebut. Jakarta Barat misalnya, pada tahun 2023 hanya memiliki RTH sebesar 0,02% dari luas wilayahnya, angka yang sangat memprihatinkan. Ketika lahan kota semakin padat dan mahal, lahan terbuka justru lebih sering dialihfungsikan untuk kepentingan komersial ketimbang untuk kepentingan ekologi dan sosial.
Perbandingan Sebaran Mall dan Taman Kota di Jakarta
Ketimpangan ini terlihat jelas di Jakarta. Dari 96 mal yang berdiri di wilayah ibu kota, Jakarta Selatan menempati urutan tertinggi dengan 28 mal, sementara jumlah taman kota tidak sebanding. Mengutip data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta pada 2023, jumlah taman kota hanya berkisar 53 unit di seluruh Jakarta.
Artinya, masyarakat urban kini lebih mudah menemukan mal daripada taman kota di lingkungan sekitarnya. Sebaran yang timpang ini menjadi indikator bahwa ruang sosial publik mulai digeser oleh ruang konsumsi privat, yang dalam jangka panjang bisa mempengaruhi pola interaksi sosial dan kualitas hidup warga kota.
Pergeseran Ruang Sosial atau Ketidakjelasan Roadmap Pembangunan?
Pertanyaannya kemudian, apakah pergeseran ini murni disebabkan oleh perubahan selera dan gaya hidup masyarakat urban Indonesia, atau justru karena tidak adanya roadmap pembangunan kota yang berpihak pada ruang publik?
Banyak pihak menilai bahwa absennya perencanaan tata ruang yang berpihak pada keberlanjutan menjadi akar masalah utama. Pemerintah daerah kerap memberikan izin pembangunan kepada pengembang tanpa mempertimbangkan dampak ekologis maupun sosialnya. Akibatnya, ruang sosial masyarakat yang dulunya tumbuh secara organik di taman-taman kota atau alun-alun, kini digantikan oleh ruang sosial berbayar di pusat perbelanjaan.
Peningkatan Jumlah Mall Juga Menimbulkan Masalah Lain
Selain mengikis ruang terbuka hijau, tak jarang pembangunan mal juga memicu konflik lahan dan penggusuran. Salah satu kasus yang cukup dikenal adalah pembangunan Mall Center Point di Medan yang menyeret pemerintah daerah dalam konflik hukum dan keharusan mengembalikan dana sebesar Rp 480 miliar ke negara karena pelanggaran aturan dalam pengadaan lahan.
Kasus serupa juga terjadi di beberapa kota Bandar Lampung pada tahun 2021. Dimana warga Rajabasa, menolak pembangunan Mal Living Plaza karena dikhawatirkan dapat menyebabkan banjir di lingkungan sekitar. Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, menyatakan bahwa pengembang perlu melakukan sosialisasi kepada warga untuk menjelaskan dampak proyek tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa persoalan pembangunan mal bukan sekadar masalah ekonomi, tapi juga persoalan sosial, hukum, dan keberpihakan pada hak-hak warga.
Peran Sistem Informasi Geospasial dalam Pemetaan dan Solusi
Untuk mengurai kompleksitas masalah ini, salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah penggunaan Sistem Informasi Geospasial (SIG). Dengan SIG, pemerintah bisa memetakan secara akurat sebaran mal, taman kota, dan RTH di setiap wilayah.
Informasi ini dapat menjadi dasar dalam menyusun kebijakan yang lebih adil dan berimbang antara kepentingan ekonomi dan ekologis. SIG juga dapat membantu mengidentifikasi area kritis yang kekurangan ruang hijau dan merekomendasikan lokasi strategis untuk pengembangan taman kota atau RTH baru, sehingga pembangunan menjadi lebih terarah dan berbasis data.
Menuju Kota yang Lebih Seimbang
Pesatnya pembangunan mal memang membawa manfaat ekonomi dan modernisasi, namun jika tidak diiringi dengan pembangunan ruang terbuka hijau dan ruang publik yang memadai, kota-kota besar Indonesia bisa menghadapi krisis sosial dan ekologis.
Pergeseran ruang sosial dari taman ke pusat perbelanjaan bukan hanya soal gaya hidup, tapi juga refleksi dari perencanaan kota yang belum matang. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat bergerak bersama, mengedepankan prinsip tata ruang berkelanjutan, dan memanfaatkan teknologi seperti SIG untuk membangun kota yang lebih manusiawi, inklusif, dan ramah lingkungan.
Sumber: databoks.katadata, goodstats.id, portalswara.com, suaralampung.id