

DPRD Jawa Barat Tekankan Pentingnya Geospasial untuk Cegah Bencana Ekologis
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat menegaskan kembali pentingnya penataan ruang berbasis geospasial sebagai langkah strategis dalam mencegah bencana ekologis. Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, MQ Iswara, menilai bahwa penataan ulang tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup bukan hanya agenda administratif, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang kini mulai tergerus pembangunan masif.
Pernyataan itu disampaikan Iswara dalam PressTalk di Gedung Sate, Bandung. Ia menekankan bahwa penataan ruang merupakan upaya adaptif menghadapi perubahan lingkungan yang tidak lagi bisa dikembalikan seperti semula. “Meskipun kondisi lingkungan tidak dapat sepenuhnya dikembalikan seperti semula, upaya untuk meminimalisir penurunan kualitas lingkungan adalah hal yang harus diutamakan,” ujarnya.
Langkah tersebut, lanjut Iswara, sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua regulasi ini menegaskan bahwa setiap pembangunan harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Prinsip geospasial dalam regulasi ini menjadi pijakan penting dalam pengambilan kebijakan ruang yang berkeadilan ekologis.
Penataan Ruang Berbasis Regulasi dan Kearifan Lokal
Dalam konteks geospasial, Iswara menekankan pentingnya kebijakan tata ruang yang berpijak pada data spasial yang akurat dan regulasi yang kuat. “Kedua regulasi tersebut menegaskan bahwa setiap pembangunan wajib memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan,” tegasnya.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memperkenalkan pendekatan tata ruang berbasis kearifan lokal Sunda. Melalui kebijakan ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat berupaya meminimalkan risiko bencana, seperti banjir dan tanah longsor, yang sering kali dipicu oleh ketidakseimbangan tata guna lahan.
Dedi menilai bahwa pendekatan berbasis budaya lokal memiliki nilai strategis dalam membangun kesadaran ekologis masyarakat. Dalam pandangan Sunda, konsep bihari, kiwari, baringsukpagi, yang berarti keterikatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, menjadi landasan filosofis dalam perencanaan ruang. Konsep ini diterjemahkan secara teknokratis dalam sistem penataan ruang, di mana setiap wilayah harus dievaluasi secara berkala agar tetap relevan dengan kondisi alam dan kebutuhan sosial.
Dampak Alih Fungsi Lahan dan Arah Kebijakan Mitigasi
Meski demikian, tantangan besar masih membayangi tata ruang Jawa Barat. Dedi Mulyadi mengungkapkan bahwa dokumen tata ruang sebelumnya telah mengalihfungsikan sekitar 1,2 juta hektare lahan konservasi menjadi kawasan properti. “Tujuan adanya wilayah properti ini ialah menumbuhkan ekonomi, tapi di sisi lain mematikan ekonomi,” ujarnya. Pernyataan ini menggambarkan paradoks pembangunan: pertumbuhan ekonomi jangka pendek yang justru berisiko menimbulkan kerugian ekologis dan ekonomi jangka panjang akibat bencana.
Untuk merespons kondisi tersebut, Pemprov Jawa Barat kini memperkuat kebijakan spasialnya melalui Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat Tahun 2022–2042. Regulasi ini tidak hanya menegaskan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berdaya saing, tetapi juga mengintegrasikan data geospasial, mitigasi bencana, serta nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
