Default Title
logo spatial highlights
Setelah Bali, Kini Giliran Pulau Jawa yang Harus Waspada dengan Gelombang Ekuator Rossby

Setelah Bali, Kini Giliran Pulau Jawa yang Harus Waspada dengan Gelombang Ekuator Rossby

Bencana alam kerap memberi tanda sebelum benar-benar menghantam. Setelah Bali porak-poranda oleh banjir akibat gelombang Ekuator Rossby, kini Pulau Jawa, dengan kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi dan kerentanan lingkungan yang makin parah, mulai merasakan getaran yang sama. Fenomena atmosfer ini bukan sekadar peristiwa alamiah, melainkan juga sinyal bahaya yang menyingkap rapuhnya tata ruang dan daya dukung ekologi di wilayah paling vital Indonesia.

Awal September 2025 menjadi pengingat keras bagaimana gelombang Ekuator Rossby memicu banjir besar di Bali. Kini, fenomena serupa mulai menghantam pesisir Jawa, terutama di bagian timur. Sebuah video viral yang diunggah akun TikTok @eddhypoedjhoirawand memperlihatkan nelayan dan warga bergegas menyelamatkan diri dari hantaman gelombang. Rekaman itu jelas bukan sekadar konten yang memotret fenomena alam semata, melainkan juga peringatan nyata bahwa Jawa memasuki fase kerentanan yang sama dengan Bali.

Baca juga: Bali Dikepung Banjir, Fenomena Alam atau Harga Mahal Pembangunan Tata Ruang Berbasis Investasi?

Dilansir dari RRI.co.id, Stasiun Meteorologi BMKG Banyuwangi menyebutkan bahwa cuaca ekstrem di selatan Jawa dipengaruhi oleh kombinasi gelombang Rossby, Madden-Julian Oscillation (MJO), dan gelombang Kelvin. Prakirawan BMKG, Rezky Prasetyo menegaskan bahwa dampaknya bisa memicu bencana hidrometeorologi mulai dari gelombang tinggi, banjir, tanah longsor, hingga angin kencang. Dari perspektif geospasial, ketiga fenomena ini memperlihatkan pola gangguan atmosfer yang bergerak dari Samudra Hindia menuju daratan, menumpuk awan hujan di atas Jawa Timur. Suhu muka laut yang hangat di selatan Jawa makin memperkuat siklus konveksi sehingga curah hujan berpotensi melampaui ambang normal.

Menyiapkan Mitigasi untuk Wilayah Rentan

Peringatan BMKG semestinya dibaca lebih jauh dalam konteks kerentanan ruang. Jawa bukan sekadar jalur lintasan atmosfer, melainkan juga pulau dengan populasi padat dan ekologi yang tertekan. Kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, hingga Jakarta, sudah lama berjuang dengan banjir akibat minimnya daerah resapan. Alih fungsi lahan yang masif, sawah yang berubah jadi permukiman, mangrove yang hilang digantikan industri, hingga betonisasi bantaran sungai telah memperlemah kemampuan tanah menyerap hujan. Ketika fenomena global seperti Rossby datang, banjir bukan lagi ancaman, melainkan keniscayaan.

Data BMKG mencatat tinggi gelombang di lintasan Ketapang–Gilimanuk kini 0,2–1,5 meter dengan kecepatan angin 3–20 knot. Sekilas tampak moderat, tetapi cukup mengganggu aktivitas penyeberangan laut dan nelayan kecil. Jika dalam tiga hari ke depan Rossby masih melintas, Banyuwangi akan menjadi pintu masuk potensi bahaya ke Jawa bagian timur. Dari titik ini, akumulasi hujan dapat menjalar ke wilayah daratan hingga ke daerah aliran sungai (DAS) besar di Jember dan sekitarnya, yang sudah punya catatan panjang banjir bandang.

Momentum Menata Ulang Tata Ruang

Fenomena atmosfer ini seharusnya menjadi momentum untuk meninjau ulang rencana tata ruang. Kota-kota yang kehilangan ruang terbuka hijau harus segera mengembalikan fungsi resapan: melalui restorasi hutan kota, rehabilitasi mangrove, normalisasi sungai, hingga pembangunan infrastruktur biru-hijau. Tanpa langkah adaptif, setiap siklus Rossby, MJO, dan Kelvin hanya akan memperbesar bencana yang berulang.

Gelombang Rossby yang kini melintasi Jawa adalah alarm dini, bukan sekadar fenomena atmosfer yang bisa disepelekan. Sejarah banjir di Jawa membuktikan, degradasi lingkungan selalu memperbesar dampak anomali cuaca. Dengan jutaan penduduk dan infrastruktur vital, Jawa tidak boleh hanya menunggu hujan reda. Pulau ini harus segera membaca ulang pola ruang dan memperbaiki kesalahan tata kelola lingkungan sebelum peringatan dini berubah menjadi tragedi nyata.

+
+