Default Title
logo spatial highlights
Pemkot Bandung Buka Peluang Kolaborasi dengan TomTom untuk Atasi Kemacetan

Pemkot Bandung Buka Peluang Kolaborasi dengan TomTom untuk Atasi Kemacetan

Pemerintah Kota Bandung tengah melakukan penelusuran terhadap lembaga pemeringkat lalu lintas global, TomTom Traffic Index, setelah data dari perusahaan asal Belanda tersebut menempatkan Bandung sebagai kota termacet di Indonesia. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, secara terbuka menyampaikan bahwa pihaknya belum mengetahui secara jelas siapa pengelola di balik lembaga tersebut.

Dalam wawancaranya dengan TVRI Jawa Barat pada Selasa, 8 Juli 2025, Farhan menyatakan bahwa ia belum tahu siapa pengelola TomTom. “Tapi kalau ada, saya ingin undang mereka untuk presentasi data yang mereka miliki. Kalau itu bisa jadi biodata mobilitas, akan sangat berguna untuk pendataan dan pengambilan kebijakan,” terangnya.

Lebih lanjut, Farhan mengaku baru pertama kali mendengar nama TomTom dan belum sempat memverifikasi kredibilitas serta metodologi yang digunakan. Namun, ia membuka peluang untuk menjalin kerja sama jika datanya terbukti akurat dan berguna. “Kalau bisa ketemu dengan TomTom ini, saya undang secara terbuka. Kita kerja sama antara Pemerintah Kota dengan lembaga tersebut untuk mengurangi kemacetan. Siapa tahu ini bisa jadi bagian dari sistem digital, bahkan big data dan blockchain," imbuhnya.

Dalam laporan tahunan TomTom Traffic Index 2024, Bandung tercatat sebagai kota paling macet di Indonesia dan menempati peringkat ke-12 di dunia. Laporan tersebut mencatat bahwa rata-rata waktu tempuh di Bandung adalah 32 menit 37 detik untuk setiap jarak 10 kilometer. Dengan durasi tersebut, warga Bandung disebut-sebut menghabiskan hingga 108 jam per tahun hanya untuk berada di tengah kemacetan.

Secara global, kota paling macet adalah Barranquilla (Kolombia), disusul Kolkata (India). Sementara itu, kota-kota besar Indonesia lain yang masuk dalam 100 besar, antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, dan Palembang. Hal ini mencerminkan bahwa kemacetan bukan lagi isu lokal, melainkan tantangan sistemik yang terjadi di berbagai pusat urban Indonesia.

Data ini seharusnya menjadi cermin sekaligus peringatan bagi para pembuat kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah. Diperlukan strategi penanggulangan kemacetan yang terintegrasi dan berbasis data, bukan hanya kebijakan tambal sulam yang bersifat reaktif.

Metodologi TomTom

Untuk memahami konteks penilaian TomTom, penting untuk mengetahui bagaimana cara mereka mengumpulkan dan menganalisis data. TomTom Traffic Index bukan sekadar survei berbasis opini. Laporan ini disebut menggunakan teknologi floating car data (FCD), yakni metode pengumpulan data dari perangkat GPS yang dipasang di berbagai kendaraan, baik kendaraan pribadi, kendaraan logistik, maupun kendaraan umum. Melalui data ini, TomTom mampu menganalisis waktu perjalanan aktual, kondisi cuaca, kondisi infrastruktur jalan, adanya proyek perbaikan, volume lalu lintas, hingga membandingkan waktu tempuh antara lalu lintas lancar dan padat.

Menurut penjelasan di laman resmi TomTom, sistem FCD yang mereka gunakan memberikan visibilitas real-time terhadap perilaku mobilitas di berbagai kota besar dunia. Tingkat kemacetan dihitung berdasarkan tambahan waktu yang dibutuhkan saat jam sibuk dibandingkan dengan waktu tempuh di kondisi ideal. Misalnya, tingkat kemacetan 50% berarti butuh waktu 50% lebih lama untuk menempuh rute yang sama pada jam sibuk.

Membuka Peluang Kolaborasi

Langkah Pemkot Bandung yang ingin menelusuri lebih dalam soal TomTom patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya untuk membangun kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Dalam era smart city, data mobilitas seperti yang disediakan oleh TomTom dapat menjadi fondasi penting bagi penyusunan kebijakan transportasi, pengaturan lalu lintas, hingga perencanaan infrastruktur.

Kemacetan adalah masalah kompleks yang bersinggungan dengan banyak faktor, mulai dari perilaku pengguna jalan, kebijakan tata ruang, hingga ketersediaan moda transportasi publik. Oleh karena itu, pendekatan yang dibutuhkan pun harus holistik dan berbasis data. Teknologi geospasial menawarkan peluang besar dalam hal ini. Data lalu lintas, pola pergerakan harian, hingga distribusi volume kendaraan dapat divisualisasikan dalam peta interaktif yang memudahkan pengambilan keputusan.

Namun, tantangannya tidak hanya pada aspek teknis, melainkan juga pada aspek kelembagaan dan literasi digital para pemangku kebijakan. Inisiatif seperti rencana Wali Kota Farhan untuk mengundang TomTom menjadi langkah awal yang positif untuk menjembatani kesenjangan antara data global dan kebutuhan lokal. Jika sinergi ini terwujud, bukan tidak mungkin Bandung dapat bertransformasi dari kota termacet menjadi kota percontohan pemanfaatan data geospasial dalam pengelolaan mobilitas urban yang berkelanjutan.

Sumber: TomTom, Pemkot Bandung, prfmnews.id

+
+