Default Title
logo spatial highlights
Narasi Nasional dalam Infrastruktur: Dari Jalan Tol ke Wacana Keberhasilan

Narasi Nasional dalam Infrastruktur: Dari Jalan Tol ke Wacana Keberhasilan

Selama dua dekade terakhir, pembangunan jalan tol telah menjadi simbol utama keberhasilan pemerintahan di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai narasi ini dengan pembangunan Tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta dan Bandung. Presiden Joko Widodo kemudian melanjutkan dan memperbesar skala narasi tersebut melalui proyek-proyek masif seperti Tol Trans-Jawa, Trans-Sumatera, hingga tol penunjang Ibu Kota Nusantara (IKN).​

Dalam berbagai pidato kenegaraan, panjang jalan tol kerap dijadikan indikator utama keberhasilan pembangunan nasional. Namun di balik klaim tersebut, pembangunan infrastruktur ini menyimpan kisah penggusuran, konflik lahan, dan kerusakan lingkungan yang jarang masuk dalam hitungan prestasi.​

Penggusuran dan Konflik Agraria di Balik Aspal

Pembangunan jalan tol di berbagai wilayah Indonesia sering kali menimbulkan konflik antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat lokal. Pada proyek Tol Trans-Sumatera, misalnya, proses pembebasan lahan menghadapi berbagai kendala, termasuk dugaan korupsi dalam pengadaan lahan yang melibatkan eks pejabat PT Hutama Karya.​

Tak hanya menimbulkan dampak sosial, proyek jalan tol juga membawa dampak ekologis yang signifikan. Pembangunan Tol Balikpapan–Samarinda, misalnya, menghadapi tantangan dalam pembebasan lahan karena trase jalan tol melintasi kawasan hutan. Meskipun proyek ini telah memenuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin lingkungan, tetap diperlukan upaya mitigasi untuk menjaga kelestarian lingkungan .​

Di Pulau Jawa, proyek Tol Cisumdawu turut menyebabkan deforestasi serta peningkatan risiko longsor akibat penggundulan lahan perbukitan. Wilayah resapan air dan sawah produktif beralih fungsi menjadi jalur transportasi, tanpa adanya strategi mitigasi bencana yang komprehensif .​

Pembangunan yang Tidak Inklusif

Pembangunan jalan tol di Indonesia telah menjadi prioritas pemerintah untuk meningkatkan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, proses pembangunan ini seringkali tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara inklusif, menimbulkan berbagai kritik dan masalah sosial. Banyak proyek jalan tol yang direncanakan dan dibangun tanpa melibatkan masyarakat terdampak dalam proses perencanaan.

Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA) menyoroti bahwa masyarakat seringkali tidak dilibatkan secara menyeluruh dalam evaluasi dampak sosial dan ekonomi yang mungkin mereka rasakan. Hal ini penting mengingat adanya pemindahan lahan dan ganti rugi yang sering menjadi isu krusial dalam pembangunan infrastruktur jalan tol

Selain itu, Pembangunan 52 proyek jalan tol sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menuai kritik. Beberapa pihak mempertanyakan apakah proyek ini benar-benar untuk kepentingan rakyat atau lebih kepada kepentingan tertentu. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. Ni’matul Huda, mengalihkan perhatian pada proyek pembangunan jalan tol yang masif dan apakah proyek ini benar-benar berpihak kepada rakyat.

Infrastruktur: Tujuan atau Alat?

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah : Apakah jalan tol benar-benar menjadi sarana pemerataan dan kemajuan, atau sekadar alat membangun citra kekuasaan?

Di banyak wilayah, keberadaan jalan tol belum tentu meningkatkan akses terhadap layanan publik, pendidikan, atau kesehatan. Sebaliknya, jalan tol lebih sering mempermudah distribusi logistik dan mobilitas bagi segelintir kelompok terutama sektor industri, real estate, dan kendaraan pribadi dibanding masyarakat umum.​

Sementara itu, desa-desa yang terbelah oleh tol, hutan-hutan yang ditebang, dan warga yang digusur jarang mendapatkan panggung dalam narasi pembangunan nasional. Mereka menjadi “korban” dari proyek-proyek ambisius yang dikejar dalam waktu singkat.​

Menuju Pembangunan yang Berkeadilan

Pembangunan infrastruktur memang penting, terutama dalam menghubungkan wilayah dan meningkatkan produktivitas. Namun jika dilakukan secara eksploitatif dan terburu-buru, ia justru melanggengkan ketimpangan dan merusak keberlanjutan jangka panjang.​ Indonesia membutuhkan pendekatan pembangunan yang lebih partisipatif, transparan, dan sensitif terhadap dampak sosial ekologis. Jalan tol mungkin mempercepat perjalanan, tetapi masa depan bangsa tak bisa ditempuh hanya dengan kecepatan. Ia perlu arah yang jelas, dan terutama, tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Sumber: kompas.com, detiknews, kontan.co.id

+
+