

Mengurai Permasalahan Klitih di Yogyakarta dengan Pemanfaatan Teknologi Geospasial
Yogyakarta, yang selama ini dikenal sebagai Kota Pelajar dan pusat kebudayaan, kini menghadapi tantangan serius berupa maraknya aksi klitih. Klitih bukan lagi sekadar istilah gaul remaja untuk kegiatan jalan-jalan malam hari, melainkan telah mengalami pergeseran makna menjadi aksi kekerasan jalanan.
Biasanya, para pelaku sebagian besar masih berusia remaja, melakukan serangan acak terhadap pengguna jalan, menggunakan senjata tajam hingga menyebabkan luka berat dan bahkan kematian. Fenomena ini menjadi ancaman nyata bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat, merusak citra Yogyakarta sebagai kota yang ramah dan aman.
Data dari Jogja Police Watch (JPW) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023 terjadi setidaknya 12 kasus klitih di wilayah DIY. Angka ini meningkat menjadi 20 kasus pada tahun 2024, meskipun pihak kepolisian mengklasifikasikan beberapa di antaranya bukan sebagai tindakan klitih murni.
Angka-angka ini menjadi alarm serius mengingat dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkannya. Setiap kasus klitih tidak hanya berdampak pada korban langsung, tetapi juga menimbulkan ketakutan kolektif di tengah masyarakat.
Lokasi dan Jam Rawan Klitih di Yogyakarta
Pemetaan terhadap titik-titik rawan klitih menjadi upaya penting dalam pencegahan. Menurut data dari Satpol PP Kota Yogyakarta, lima lokasi utama rawan klitih antara lain Jalan Solo, Jalan Magelang, Jalan Gondosuli, Jalan Kusumanegara, dan Jalan Diponegoro. Tidak hanya itu, kawasan Ring Road Barat, XT Square, Godean, Mandala Krida, hingga sebagian wilayah Bantul juga tercatat menjadi lokasi terjadinya insiden klitih.
Waktu terjadinya klitih umumnya antara pukul 22.00 hingga 03.00 dini hari, saat arus lalu lintas mulai sepi dan pengawasan aparat berkurang. Kondisi jalan yang sepi dan minim penerangan menambah kerentanan kawasan-kawasan tersebut terhadap aksi kekerasan.
Faktor Tata Kota yang Mempengaruhi Klitih
Jika melihat data-data yang kami sebutkan diatas, tentunya kita dapat mengidentifikasi bahwa faktor tata kota turut berkontribusi terhadap maraknya klitih di Yogyakarta. Kurangnya penerangan jalan dan minimnya pengawasan di area-area sepi menjadi celah bagi pelaku untuk melakukan aksinya. Oleh karena itu, teknologi Geospasial dapat menjadi alat efektif dalam memetakan dan menganalisis pola kejahatan seperti klitih. Sistem Informasi Geografis (SIG) memungkinkan visualisasi data kejahatan berdasarkan lokasi, waktu, dan jenis kejahatan.
Berdasarkan penelusuran kami, penelitian dari Ahmad Hanafi yang berjudul “Sistem Informasi Geografis Pemetaan Kejahatan Klitih Di Yogyakarta Menggunakan Google Maps API” serta “Ring Road Saksi Bisu Kejahatan Klitih di Yogyakarta” karya tim dari Program Studi Arsitektur, Universitas Islam Indonesia, menyebut pemanfaatan teknologi geospasial mampu mengurangi permasalah yang sudah mengakar ini.
Mengurai Permasalahan Klitih
Penggunaan teknologi geospasial dapat menjadi langkah strategis yang efektif untuk mengatasi permasalahan klitih di Provinsi Yogyakarta. Salah satu tindakan utama yang dapat dilakukan adalah pemetaan daerah rawan klitih menggunakan SIG.
Melalui SIG, pihak berwenang dapat mengidentifikasi secara spesifik lokasi-lokasi yang kerap menjadi titik rawan aksi klitih berdasarkan data kejadian yang dikumpulkan dari laporan masyarakat, pihak kepolisian, maupun pantauan media. Dengan adanya pemetaan ini, pengelolaan keamanan dapat menjadi lebih terarah, patroli keamanan bisa difokuskan ke area-area tersebut, sehingga respons terhadap potensi tindak kejahatan bisa dilakukan lebih cepat dan efektif.
Selain pemetaan, langkah konkret lain yang penting dilakukan adalah peningkatan penerangan jalan di titik-titik rawan yang telah teridentifikasi. Data dari hasil analisis geospasial akan memberikan gambaran yang akurat mengenai lokasi mana saja yang membutuhkan tambahan infrastruktur penerangan.
Banyak kasus klitih yang terjadi di area gelap dan minim pengawasan, sehingga dengan memperbaiki kualitas pencahayaan di lokasi tersebut, potensi terjadinya tindakan kriminal dapat ditekan secara signifikan. Penerangan jalan yang memadai tidak hanya meningkatkan visibilitas, tetapi juga meningkatkan rasa aman bagi masyarakat yang melintas di malam hari.
Langkah berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah pemasangan kamera pengawas (CCTV) dengan teknologi face recognition di lokasi-lokasi strategis yang telah dipetakan sebagai rawan klitih. Dengan teknologi ini, pengawasan terhadap aktivitas masyarakat di ruang publik bisa dilakukan secara lebih intensif dan akurat. Kamera pengawas tidak hanya merekam kejadian, tetapi juga mampu mengidentifikasi wajah pelaku secara real-time, sehingga dapat mempercepat proses penindakan oleh aparat keamanan.
Teknologi face recognition juga memungkinkan sistem untuk mendeteksi pelaku yang merupakan residivis atau sudah pernah terlibat dalam tindak kejahatan serupa, sehingga meningkatkan efektivitas pencegahan kejahatan berulang. Implementasi ketiga strategi ini secara terpadu akan memberikan dampak jangka pendek yang signifikan dalam menekan angka klitih di Yogyakarta dan menciptakan ruang publik yang lebih aman.
Mewujudkan Kembali Yogyakarta yang Aman dengan Teknologi Geospasial
Klitih di Yogyakarta merupakan fenomena sosial yang kompleks, berakar dari banyak faktor dan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Untuk itu, solusi yang diambil harus bersifat komprehensif, dengan pendekatan sosial, edukatif, preventif, hingga teknologi modern. Melalui pemetaan berbasis teknologi, sinergi pemerintah, masyarakat, dan keluarga, serta pemberdayaan remaja secara positif, angka kejadian klitih dapat ditekan secara signifikan.
Sumber: jawa pos, Harian Jogja, Kompas.com, UII, TEKNOMATIKA