Default Title
logo spatial highlights
Mengenal Badai Geomagnetik yang Sempat Dikhawatirkan BMKG

Mengenal Badai Geomagnetik yang Sempat Dikhawatirkan BMKG

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan bahwa tidak terdeteksi badai geomagnetik yang signifikan akibat aktivitas medan magnet bumi pada sepekan terakhir. Dampak gangguan tersebut di wilayah Indonesia pun tergolong minimal.

Ketua Tim Bidang Geofisika Potensial BMKG, Syrojudin, saat dikonfirmasi di Jakarta pada Jumat, 1 Agustus 2025 menjelaskan bahwa gangguan ini dipicu oleh aliran angin matahari berkecepatan tinggi yang berasal dari lubang korona di permukaan matahari. Fenomena ini dikenal sebagai coronal hole high speed stream (CH HSS).

Syrojudin menegaskan bahwa hasil pemantauan indeks magnet bumi di wilayah utara dan selatan Indonesia menunjukkan kondisi yang masih aman. "Ini hanya gangguan kecil, tidak berdampak signifikan terhadap Indonesia," ujar Syrojudin seperti dikutip dari ANTARA. Ia menambahkan bahwa indeks magnet bumi merupakan parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana gangguan terjadi pada medan magnet bumi.

Apa itu Badai Geomagnetik?

Badai geomagnetik adalah gangguan besar yang terjadi pada magnetosfer Bumi akibat transfer energi dari angin matahari ke lingkungan antariksa di sekitar Bumi. Gangguan ini umumnya dipicu oleh aliran angin matahari berkecepatan tinggi yang berlangsung selama beberapa jam, khususnya ketika arah medan magnet antarplanet (IMF) menghadap ke selatan sehingga berlawanan arah dengan medan magnet Bumi di sisi siang hari.

Secara umum, terdapat dua penyebab utama badai geomagnetik. Penyebab pertama adalah coronal mass ejections (CME), yaitu lontaran besar plasma dan medan magnet dari korona Matahari yang dapat mencapai Bumi dalam waktu 15 hingga 18 jam setelah peristiwa terjadi.

Penyebab kedua adalah high-speed solar wind streams (HSS), yaitu aliran angin matahari berkecepatan tinggi yang menghasilkan wilayah interaksi bersama yang disebut co-rotating interaction regions (CIR). Meskipun HSS biasanya menimbulkan badai yang lebih lemah dibandingkan CME, tetapi efeknya bisa berlangsung lebih lama dan mengendapkan lebih banyak energi ke dalam magnetosfer Bumi.

Ketika kondisi medan magnet dan angin matahari mendukung, energi dari Matahari masuk dan memberikan tekanan pada magnetosfer sehingga memicu arus auroral elektrojet dan arus medan sejajar. Proses ini mengakibatkan fluktuasi medan magnet Bumi serta mengubah komposisi radiasi di sabuk magnetik, yang memanaskan ionosfer dan atmosfer atas, termasuk termosfer.

Tingkat keparahan badai geomagnetik diukur melalui dua indeks utama, yaitu indeks Dst dan indeks Kp. Indeks Dst mengukur penyimpangan medan magnet horizontal di wilayah ekuator magnetik. Nilai Dst di bawah −50 nanotesla (nT) menandakan terjadinya badai geomagnetik, dan badai sangat kuat dapat memiliki nilai Dst di bawah −250 nT. Sementara itu, indeks Kp digunakan oleh NOAA untuk menetapkan klasifikasi badai berdasarkan skala G1 hingga G5, di mana G1 (Kp = 5) menunjukkan badai ringan, sedangkan G5 (Kp = 9) menandakan badai ekstrem.

Badai geomagnetik dapat menimbulkan dampak luas terhadap berbagai infrastruktur. Di sektor kelistrikan, badai dapat menginduksi arus listrik di jaringan transmisi yang menyebabkan lonjakan tegangan, kegagalan sistem proteksi, bahkan pemadaman besar dan kerusakan pada transformator, terutama saat badai mencapai level G4 atau G5.

Di bidang navigasi dan komunikasi, perubahan densitas ionosfer bisa mengganggu sinyal GPS, serta menyebabkan gangguan atau kehilangan total komunikasi radio frekuensi tinggi (HF). Selain itu, satelit di orbit rendah bisa terganggu karena pemanasan atmosfer yang meningkatkan hambatan (drag), dan astronaut atau penumpang pesawat di lintang tinggi dapat terpapar radiasi tinggi.

+
+