

Mengawal Bahaya Lahar Semeru dengan Teknologi Spasial
Setiap musim hujan, Gunung Semeru bukan hanya menyimpan ancaman letusan, tetapi juga bahaya sekunder berupa banjir lahar dingin. Aliran lumpur bercampur material vulkanik ini bisa meluncur deras mengikuti jalur sungai, menghantam jembatan, merendam lahan pertanian, bahkan menyeret rumah warga dalam hitungan menit.
Tragedi pada April 2024 masih segar di ingatan. Hujan lebat di kawasan Semeru memicu banjir lahar dingin yang meluap dari DAS Regoyo, Mujur, dan Glidik, menerjang sembilan kecamatan di Kabupaten Lumajang. Puluhan jembatan putus, irigasi rusak, rumah hanyut, hingga menelan korban jiwa. Peristiwa itu memperlihatkan betapa pentingnya sistem pemantauan berbasis spasial yang mampu membaca pergerakan alam sejak dini.
Pemetaan Risiko Lewat Jalur Sungai dan Sensor
Secara geospasial, Semeru dikelilingi oleh jaringan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi jalur alami lahar dingin. BNPB mengidentifikasi tiga DAS paling rawan, yaitu Besuk Kobokan, Besuk Lanang, dan Sungai Regoyo. Ketiganya bagaikan “koridor” yang menghubungkan puncak gunung dengan desa-desa di hilir. Di sinilah, teknologi berperan. Dengan memantau hujan dan kondisi cuaca di hulu, potensi aliran lahar bisa diprediksi sebelum mencapai permukiman.
Untuk memperkuat sistem peringatan dini, BNPB memasang sensor baru yang tersebar di titik-titik strategis. Beritajatim.com melaporkan ada empat Automatic Rain Gauge (ARG) atau alat penakar hujan otomatis yang dipasang di Pos Pengamatan Gunungapi Gunung Sawur, Stasiun Ranu Kumbolo, Stasiun Besuk Bang, dan Stasiun Tawon Songo. Sementara, satu Automatic Weather Station (AWS) ditempatkan di Stasiun Argosuko.
Semua sensor dilengkapi panel surya serta teletransmisi sehingga data hujan dan cuaca bisa dikirim secara real-time. Informasi ini kemudian dipadukan dengan pemantauan yang sudah ada dari PVMBG dan BMKG, membentuk jaringan early warning system (EWS) yang lebih kuat dan terintegrasi.
Pemasangan sensor ini tidak berdiri sendiri. BNPB bekerja sama dengan PVMBG, BMKG, serta BPBD Lumajang untuk memastikan data yang terkumpul benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Empat desa di jalur rawan, yaitu Jugosari, Gondoruso, Pasrujambe, dan Kertosari, menjadi prioritas utama penerima informasi dini.
Dengan pendekatan ini, peringatan bahaya bukan lagi sekadar pengumuman umum, melainkan informasi yang berbasis lokasi. Artinya, warga bisa tahu dengan lebih pasti kapan harus waspada dan jalur mana yang harus mereka hindari. Setiap titik data dari sensor hujan, stasiun cuaca, hingga aliran sungai akan menjadi bahan penting untuk memodelkan pergerakan lahar di masa mendatang.
