

Ironi Yogyakarta! Kota Besar yang Minim JPO?
Yogyakarta selama ini dikenal luas sebagai kota pelajar, kota budaya, sekaligus destinasi wisata favorit di Indonesia. Predikat ini melekat kuat bukan tanpa alasan dengan ratusan ribu mahasiswa dari berbagai daerah serta jutaan wisatawan yang datang setiap tahunnya, Yogyakarta seharusnya menjadi contoh tata kota yang humanis dan inklusif. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur dasar bagi keselamatan warga, terutama pejalan kaki, masih sangat tertinggal.
Permasalahan keselamatan pejalan kaki kini menyeruak ke permukaan setelah sebuah peristiwa tragis terjadi pada 2 Mei 2025. Seorang mahasiswi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta kehilangan nyawanya setelah tertabrak mobil saat menyeberangi jalan di kawasan Ring Road. Kabar ini pertama kali viral melalui akun X (Twitter) Merapi Uncover, dimana peristiwa ini menjadi semacam tamparan keras bagi pemerintah dan publik, bahwa keselamatan pejalan kaki di kota sebesar Yogyakarta masih jauh dari kata layak.
Ring Road: Jalur Vital Tanpa Perlindungan
Yogyakarta memiliki jalur penghubung utama bernama Jogja Outer Ring Road (JORR) yang membentang sejauh lebih dari 113 kilometer, terdiri dari jalur utara (65,93 km) dan jalur selatan (47,48 km). Jalur ini menjadi urat nadi aktivitas ekonomi dan mobilitas warga dari Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon Progo. Namun, meski krusial, JORR nyaris tidak dilengkapi fasilitas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Di sepanjang jalan yang ramai kendaraan itu, pejalan kaki harus mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk menyeberang.
Ketiadaan JPO di jalur-jalur vital, terutama yang membelah jalan-jalan utama, ini tidak hanya menjadi persoalan kenyamanan, melainkan soal keselamatan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki di Ringroad bisa terjadi kapan saja, karena tidak adanya penanggulangan atau langkah pencegahan, terutama di titik-titik seperti Kampus UPN ataupun UMY, yang berada di bibir JORR.
Minimnya Jumlah JPO di Kota Pendidikan
Ironisnya, kota yang mengklaim diri sebagai kota pelajar ini hanya memiliki segelintir JPO. Berdasarkan penelusuran kami, hanya terdapat beberapa JPO aktif di wilayah Yogyakarta:
-
JPO Ambaramarga di Jalan Laksda Adisucipto yang menghubungkan Plaza Ambarrukmo dan Grand Ambarrukmo Hotel, yang diresmikan langsung oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X pada 2019 (Antara).
-
JPO di Kampus UIN Sunan Kalijaga namun lebih berfungsi untuk keperluan internal kampus.
-
JPO Pasar Beringharjo, salah satu yang tersisa di kawasan pusat kota, yang kini kurang terawat.
Beberapa JPO lainnya bahkan telah dibongkar, seperti JPO di Kranggan dan Jalan Solo, karena alasan seperti kerusakan struktural atau rendahnya tingkat penggunaan. Namun, membongkar tanpa mengganti dengan fasilitas penyeberangan lain justru memperburuk kondisi keselamatan warga.
Tata Kota yang Tidak Berpihak pada Pejalan Kaki
Dari sudut pandang tata kota, kondisi ini menunjukkan adanya orientasi kebijakan yang terlalu berpihak pada kendaraan bermotor. Jalan-jalan besar dibangun dan dilebarkan, tetapi tanpa disertai pembangunan fasilitas pendukung untuk pejalan kaki, seperti trotoar yang layak, zebra cross dengan lampu penyeberangan otomatis, atau JPO yang memadai.
Padahal, menurut Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR, kota yang ramah pejalan kaki merupakan indikator penting dalam mewujudkan kota berkelanjutan dan inklusif. Dalam konteks ini, Yogyakarta tampak masih tertinggal dibanding kota lain seperti Bandung atau Surabaya yang mulai agresif membangun fasilitas pedestrian dan JPO secara menyeluruh.
Untuk menanggulangi masalah ini, Pemerintah Provinsi DIY sebenarnya bisa memanfaatkan teknologi geospasial sebagai alat bantu perencanaan infrastruktur. Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), pemerintah dapat memetakan zona dengan mobilitas tinggi, seperti kampus, rumah sakit, tempat ibadah, dan kawasan perdagangan.
Pemetaan ini akan menghasilkan data yang menunjukkan titik-titik krusial di mana keberadaan JPO sangat dibutuhkan. Dengan basis data tersebut, pembangunan bisa lebih tepat sasaran dan efisien. Beberapa daerah di Indonesia bahkan telah mulai memanfaatkan data geospasial untuk merancang penempatan fasilitas publik, dan hasilnya cukup efektif menekan angka kecelakaan pejalan kaki.
Pemerataan Pembangunan Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap pembangunan di Yogyakarta adalah ketimpangan antar wilayah. Pembangunan infrastruktur lebih banyak difokuskan di kawasan pusat kota dan sumbu imajiner yang menghubungkan Keraton, Tugu, dan Gunung Merapi. Padahal, banyak wilayah pinggiran seperti Sleman, Wonosari, dan Bantul yang memiliki kepadatan aktivitas tinggi tetapi minim perhatian dari pemerintah.
Jika tidak ada upaya pemerataan, maka ketimpangan ini akan terus berlanjut dan warga di pinggiran akan terus menjadi korban dari tata kota yang eksklusif. Pemenuhan kebutuhan dasar seperti JPO seharusnya tidak hanya ditentukan oleh nilai estetika atau lokasi pariwisata, tapi lebih pada kebutuhan riil warga akan keselamatan.
Jalan Menuju Kota Ramah Pejalan Kaki
Tragedi yang menimpa mahasiswi UPN seharusnya menjadi momen reflektif bagi seluruh pemangku kebijakan di Yogyakarta. Sudah saatnya kota ini menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas, bukan sekadar mempercantik pusat kota demi wisatawan.
Pemerintah DIY perlu segera membuat roadmap pembangunan JPO berbasis kebutuhan riil warga, dibantu teknologi geospasial dan partisipasi masyarakat. Yogyakarta tidak bisa terus bangga dengan gelar "kota pelajar" atau "kota budaya" jika warganya masih harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk menyeberang jalan.
Sumber: MerapiUncover