

BPBD Ciamis Petakan Daerah Rawan Bencana Hidrometeorologi Jelang Musim Hujan
Untuk menghadapi musim hujan yang datang lebih awal, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat memperkuat langkah mitigasi dengan melakukan pemetaan wilayah rawan bencana hidrometeorologi. Upaya ini diharapkan dapat meminimalkan risiko bencana sekaligus meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Ciamis, Ani Supiani, mengatakan bahwa pemetaan daerah-daerah yang rawan dan berpotensi bencana merupakan upaya mitigasi. Langkah tersebut sekaligus untuk mempersiapkan rencana evakuasi jika terjadi keadaan darurat di lingkungan masing-masing.
Ani menjelaskan, BPBD Ciamis terus berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait prediksi musim hujan. Berdasarkan pemantauan iklim terkini, musim hujan diperkirakan berlangsung sejak Agustus 2025 hingga April 2026. Sebagian wilayah Pulau Jawa, termasuk Ciamis, sudah mulai memasuki musim hujan pada September 2025. "Dengan prediksi puncaknya pada Januari–Februari 2026," ujarnya dikutip dari ANTARA.
Merujuk pada prediksi tersebut, BPBD mengambil langkah-langkah antisipasi guna mengurangi risiko bencana alam hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, tanah bergerak, cuaca ekstrem, hingga angin kencang. Dari hasil pemetaan, hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Ciamis memiliki potensi bencana, terutama kawasan yang berada di daerah rawan.
"Potensi bencana di musim hujan di wilayah Kabupaten Ciamis adalah cuaca ekstrem, angin kencang, angin puting beliung, banjir, dan tanah longsor," lanjut Ani.
Selain pemetaan, BPBD juga mendorong berbagai langkah pencegahan. Beberapa di antaranya meliputi pembersihan saluran air, pengecekan kondisi infrastruktur, pengangkatan sampah yang dapat menyumbat aliran air, hingga pemangkasan dahan dan ranting pohon yang berisiko mengancam permukiman maupun keselamatan warga.
Apa itu Bencana Hidrometeorologi?
Bencana hidrometeorologi adalah jenis bencana yang dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan iklim, khususnya faktor air (hidro) dan atmosfer (meteorologi). Fenomena ini biasanya muncul akibat ketidakstabilan atmosfer yang memicu perubahan cuaca ekstrem. Contoh paling umum dari bencana hidrometeorologi meliputi banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan, hingga gelombang pasang atau rob.
Di Indonesia, bencana hidrometeorologi menjadi yang paling dominan karena letak geografisnya yang berada di daerah tropis, diapit dua benua dan dua samudra, serta dilalui garis khatulistiwa. Kondisi tersebut membuat Indonesia memiliki curah hujan tinggi dengan pola yang bervariasi antarwilayah dan antarwaktu. Ketika musim hujan tiba, potensi bencana seperti banjir dan longsor meningkat tajam, terutama di daerah dengan alih fungsi lahan, pemukiman padat, atau infrastruktur drainase yang buruk.
Selain itu, fenomena global, seperti El Nino dan La Nina, juga memengaruhi intensitas bencana hidrometeorologi. La Nina, misalnya, sering menyebabkan curah hujan jauh lebih tinggi dari normal sehingga meningkatkan risiko banjir dan longsor. Sebaliknya, El Nino dapat memperpanjang musim kemarau sehingga memicu kekeringan dan krisis air.
Karena sifatnya yang sulit diprediksi dengan presisi, bencana hidrometeorologi menuntut kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah. Langkah seperti pemetaan wilayah rawan, penyediaan sistem peringatan dini, hingga edukasi publik tentang tindakan darurat sangat penting untuk meminimalkan korban dan kerugian.
