

Aris Marfai Tegaskan Informasi Geospasial sebagai Fondasi Menuju Ekosistem Geospasial Terpadu
Informasi geospasial (IG) kini diakui sebagai elemen strategis dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Data berbasis lokasi tidak lagi sekadar alat bantu pemetaan, melainkan fondasi penting bagi pengambilan keputusan yang berbasis bukti. Dalam Seminar Internasional Mansoer Wiratmadja bertajuk “State of the Art Science and Technology for Sustainable Development” di Itenas Bandung, 2 Oktober 2025, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muh Aris Marfai menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat berjalan tanpa dukungan data spasial yang akurat. Ia menyoroti bahwa lebih dari separuh dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) secara langsung bergantung pada informasi berbasis lokasi untuk mengukur, memantau, dan mengevaluasi capaian kebijakan.
Pandangan tersebut memperjelas bahwa keberadaan IG tidak hanya penting di level perencanaan teknis, tetapi juga menjadi landasan strategis dalam pengelolaan sosial-ekonomi. Aris menjelaskan bahwa kebijakan, seperti penyaluran bantuan sosial, penentuan prioritas pembangunan daerah, hingga pengelolaan tata ruang, harus didasarkan pada data spasial agar hasilnya tepat sasaran. Menurutnya, sekitar 80 persen kebutuhan informasi dalam pembuatan kebijakan pemerintah daerah berhubungan langsung dengan konteks geografis. Oleh karena itu, setiap bentuk peta, baik skala besar, kecil, maupun situasional, memegang peran penting dalam memastikan kebijakan berbasis data spasial dapat berjalan efektif dan terarah.
Namun, untuk mewujudkan pemanfaatan IG secara optimal, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal ketersediaan teknologi pemetaan. BIG saat ini tengah mengembangkan peta dasar skala 1:5.000 seluas 1,9 juta kilometer persegi sebagai langkah strategis menuju kemandirian data spasial nasional.
Tantangan, seperti luasnya wilayah, tutupan awan, serta variasi topografi, membuat teknologi citra satelit pasif menjadi kurang memadai. Aris menekankan bahwa solusi ke depan memerlukan teknologi aktif seperti LiDAR dan radar yang mampu menembus keterbatasan kondisi alam. Selain itu, transfer pengetahuan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan tinggi menjadi faktor penting agar Indonesia mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi global.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Aris mendorong kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, industri, dan penyedia teknologi. Penerapan konsep smart city, pengelolaan zonasi lahan, hingga sistem tanggap darurat merupakan contoh konkret bagaimana IG dapat dimanfaatkan secara kolaboratif. Ia menambahkan bahwa masa depan IG nasional akan bergerak menuju integrasi antara Sistem Informasi Geografis (SIG) dan internet of things (IoT), yang harus diakomodasi dalam kurikulum perguruan tinggi guna mencetak tenaga ahli yang siap menghadapi industri geospasial modern.
Dengan sinergi yang kuat dan investasi berkelanjutan di bidang pendidikan serta teknologi geospasial, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat kemandirian data spasial nasional. IG bukan lagi sekadar alat teknis, melainkan juga simbol dari pembangunan yang berbasis pengetahuan, berkelanjutan, dan inklusif. Melalui pemanfaatan IG yang terarah, bangsa ini dapat melangkah menuju era pembangunan hijau dan cerdas, di mana setiap kebijakan berpijak pada pemahaman spasial yang utuh terhadap ruang dan kehidupan masyarakat.
