

Ahli Sebut IPS Telah Mereduksi Makna Geografi sebagai Ilmu Interdisipliner
Dunia saat ini sedang diguncang oleh krisis iklim, urbanisasi yang tak terkendali, hingga disrupsi geopolitik global. Dalam kondisi semacam itu, kemampuan membaca ruang, memahami dinamika spasial, dan mengolah data geospasial menjadi keterampilan strategis yang menentukan masa depan sebuah bangsa. Ironisnya, di Indonesia, pendidikan geografi masih diposisikan secara sempit hanya dalam kerangka ilmu pengetahuan sosial (IPS). Pandangan semacam ini bukan hanya mereduksi hakikat geografi yang interdisipliner, tetapi juga berisiko melahirkan generasi yang gagap menghadapi tantangan lingkungan, kesehatan, maupun pembangunan berkelanjutan.
Geografi sejatinya adalah ilmu yang memandang dunia melalui lensa keruangan, menggali mengapa suatu fenomena terjadi di suatu tempat, bagaimana ia menyebar, dan apa dampaknya terhadap manusia dan lingkungan. Secara epistemologis, geografi bukanlah ilmu yang berdiri hanya di satu sisi antara alam atau sosial, melainkan jembatan yang mengintegrasikan keduanya. Sayangnya, kebijakan pendidikan Indonesia masih menempatkan geografi secara eksklusif dalam rumpun IPS.
Keputusan Mendikdasmen Nomor 102/M/2025 mempertegas hal itu dengan membatasi geografi hanya untuk siswa jurusan IPS, sementara siswa IPA yang memiliki fondasi kuat dalam sains justru tidak diberi akses penuh untuk mempelajarinya. Kebijakan ini mempersempit ruang lingkup geografi menjadi sekadar “ilmu hafalan wilayah”, bukan ilmu strategis yang bisa memadukan sains, teknologi, dan humaniora.

Generasi yang Buta Spasial
Dilansir dari Pikiran Rakyat, menurut Agus Santoso Budiharso, Anggota Keluarga Alumni Geografi Gadjah Mada sekaligus pemerhati pendidikan geografi, kebijakan ini telah menciptakan jurang besar dalam dunia pendidikan. Siswa jurusan IPA memahami aspek sains dan matematika, tetapi kerap buta terhadap dinamika spasial, seperti iklim, laut, atau tata ruang. Sebaliknya, siswa IPS yang mempelajari geografi cenderung hanya memahami sisi deskriptif wilayah, tanpa diperkuat kemampuan analisis kuantitatif.
Akibatnya, ketika memasuki perguruan tinggi, banyak mahasiswa kewalahan menghadapi mata kuliah yang membutuhkan kombinasi analisis spasial, pemodelan matematis, hingga pengolahan data geospasial berbasis teknologi satelit. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebijakan dikotomis dalam pendidikan justru memperlemah kesiapan bangsa menghadapi tantangan global.
Hal tersebut menjadi ironi, di mana Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, posisi strategis di jalur perdagangan internasional, dan kekayaan sumber daya alam seharusnya menempatkan geografi sebagai poros utama pendidikan kebangsaan. Tanpa pemahaman geospasial yang matang, potensi tersebut justru berubah menjadi kerentanan, seperti bencana ekologis, konflik ruang maritim, hingga ketidakmampuan mengelola urbanisasi. Dengan kata lain, penguatan pendidikan geospasial bukan sekadar kebutuhan akademik, melainkan kepentingan strategis nasional.
Menempatkan Geografi sebagai Poros Strategis Bangsa
Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan pendekatan strategis dalam mereformasi pendidikan geospasial di Indonesia. Pertama, geografi tidak boleh hanya diposisikan dalam rumpun IPS, tetapi harus diintegrasikan sebagai ilmu interdisipliner yang bisa dipelajari baik oleh siswa IPA maupun IPS.
Kedua, kurikulum geografi perlu diperkuat dengan pendekatan kuantitatif, teknologi pengindraan jauh, sistem informasi geografis (SIG), dan analisis spasial berbasis data. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar menghafal nama gunung atau sungai, tetapi juga mampu menganalisis perubahan iklim, pergeseran demografi, hingga potensi energi terbarukan. Ketiga, kolaborasi antara sekolah, perguruan tinggi, dan industri geospasial perlu diperluas agar pendidikan ini selaras dengan kebutuhan nyata pembangunan berkelanjutan.
Tanpa langkah strategis ini, Indonesia berisiko melahirkan generasi yang hanya separuh paham, siswa IPA yang kuat dalam sains, tetapi lemah dalam ruang, dan siswa IPS yang mengenal wilayah, tetapi gagap dalam analisis. Jika kita ingin bangsa ini tangguh menghadapi krisis iklim, bencana, maupun kompetisi geopolitik, maka geografi harus diposisikan kembali sebagai ilmu strategis lintas disiplin, bukan sekadar cabang IPS. Dengan begitu, kita bisa melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, melainkan juga peka terhadap ruang dan mampu menata masa depan bangsa secara berkelanjutan.
