Default Title
logo spatial highlights
Selat Hormuz dalam Pusaran Ketegangan Global

Selat Hormuz dalam Pusaran Ketegangan Global

Tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali menguat. Selat Hormuz pun kembali menjadi pusat perhatian global. Iran, yang selama ini menjadikan selat tersebut sebagai alat diplomasi koersif, mengancam akan menutup jalur vital itu sebagai respons terhadap meningkatnya konflik dengan Israel dan Amerika Serikat.

Dunia internasional bersiaga menghadapi kemungkinan gangguan di titik sempit ini. Ketegangan di kawasan Timur Tengah bukan lagi sekadar konflik antarnegara, melainkan berpotensi menjadi krisis energi global yang merambat ke sektor ekonomi, keamanan, dan kestabilan harga. Pemahaman mendalam tentang posisi strategis dan dampak spasial dari Selat Hormuz sangat penting untuk membaca arah perkembangan krisis yang mungkin terjadi.

Parlemen Iran dilaporkan tengah mempertimbangkan rancangan undang-undang untuk menutup Selat Hormuz bagi kapal dari negara-negara pendukung Israel. Situasi ini dipicu oleh meningkatnya konflik antara Iran dan Israel serta intervensi militer Amerika Serikat terhadap jaringan milisi pro-Iran di kawasan. Langkah ini bukan pertama kalinya Iran menggunakan Selat Hormuz sebagai alat tekanan terhadap Barat.

Laporan dari Al Jazeera menyebutkan bahwa meskipun Iran kerap mengancam, hingga kini belum pernah terjadi penutupan total selat tersebut. Namun, situasi saat ini berbeda. Amerika Serikat telah menambah armada militernya di kawasan, termasuk kapal induk dan sistem pertahanan rudal, yang menunjukkan bahwa kemungkinan eskalasi militer tidak bisa diabaikan.

Lalu, apakah yang akan terjadi jika Iran benar-benar mengambil kebijakan untuk menutup Selat Hormuz?

Titik Strategis yang Mengendalikan Aliran Energi Dunia

Selat Hormuz bukan sekadar jalur laut sempit di peta maritim. Ia merupakan urat nadi perdagangan energi global yang menghubungkan Teluk Persia ke Teluk Oman dan Laut Arab. Lokasinya berada di antara pesisir selatan Iran dan pantai utara Uni Emirat Arab serta Oman. Lebar selat berkisar antara 55–95 kilometer, dengan saluran pelayaran efektif hanya sekitar tiga kilometer di setiap arah, menjadikannya choke point yang sangat rawan.

Peta geospasial kawasan ini menunjukkan bahwa pulau-pulau, seperti Qeshm, Hormuz, dan Hengām, merupakan titik-titik strategis yang kerap dimanfaatkan untuk kepentingan militer dan intelijen. Keberadaan pos militer Iran di sejumlah titik tersebut memberi keuntungan taktis dalam mengawasi dan mengontrol lalu lintas maritim. Dalam konteks ini, Selat Hormuz bukan hanya entitas geografis, melainkan juga wilayah dominasi politik dan militer yang diperebutkan.

Selain itu, Data dari U.S. Energy Information Administration (EIA) menunjukkan lebih dari 20% pasokan minyak dunia, sekitar 17 juta barel per hari, melintasi Selat Hormuz. Jalur ini menjadi penghubung utama antara negara-negara produsen minyak utama, seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan UEA, dan konsumen energi di Asia Timur, Eropa, dan Amerika Serikat. Selain minyak mentah, ekspor gas alam cair (LNG) dari Qatar juga sangat bergantung pada jalur ini.

Secara spasial, Selat Hormuz membentuk poros energi lintas benua. Gangguan di wilayah ini dapat secara langsung memutus rantai pasok dari Teluk Persia ke kawasan industri utama dunia. Citra satelit dan peta aliran tanker menunjukkan pola konsentrasi kapal yang tinggi pada jalur pelayaran ini, yang memperkuat statusnya sebagai simpul logistik energi global.

Pentingnya Memahami Ruang dan Risiko

Secara geospasial, jalur pelayaran di Selat Hormuz berada dalam jangkauan penuh sistem pertahanan Iran, baik melalui daratan maupun laut. Wilayah ini kini berada dalam kondisi "zona pengawasan penuh", menciptakan ketegangan tinggi dan meningkatkan potensi terjadinya insiden maritim.

Dilansir dari laporan AInvest, pihaknya memperkirakan bahwa penutupan total Selat Hormuz selama lebih dari seminggu dapat mendorong harga minyak dunia melonjak hingga di atas 150 dolar per barel. Negara-negara, seperti Jepang, India, dan Tiongkok, akan terkena dampak paling awal karena ketergantungan langsung mereka terhadap minyak dari kawasan Teluk.

Efek domino dari krisis energi akan menjalar ke sektor manufaktur, transportasi, hingga harga pangan global. Kenaikan biaya logistik dan bahan bakar akan menyebabkan inflasi yang memperburuk ketimpangan ekonomi dan memperbesar risiko ketidakstabilan politik di negara-negara berkembang. Geospasial bukan hanya membantu memetakan distribusi energi, tetapi juga memberi gambaran terhadap pola kerentanan yang timbul akibat perubahan jalur logistik.

Beberapa negara mencoba mengurangi ketergantungan terhadap Selat Hormuz. Arab Saudi membangun East-West Pipeline yang mengalirkan minyak dari wilayah timur ke Laut Merah. Irak memiliki jalur ekspor ke Turki melalui Ceyhan. Sementara, UEA mengembangkan pelabuhan Fujairah sebagai alternatif jalur ekspor langsung ke Laut Arab.

Peta distribusi energi global menunjukkan bahwa kapasitas dari jalur-jalur alternatif ini masih terbatas. Pipa Arab Saudi hanya mampu menyalurkan sekitar 5 juta barel per hari. Wilayah-wilayah ini juga tidak bebas dari risiko keamanan atau tekanan politik. Dengan demikian, Selat Hormuz tetap menjadi simpul paling efisien dan strategis dalam ekosistem energi global dan hingga saat ini masih tidak tergantikan.

Menahan Diri atau Menghadapi Krisis Energi?

Iran, Israel, dan Amerika Serikat memegang peran kunci dalam menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah, khususnya di sekitar Selat Hormuz. Ketiganya harus menahan diri dari tindakan provokatif yang dapat memperkeruh situasi dan menyeret dunia ke dalam krisis energi global. Penutupan Selat Hormuz bukan hanya akan melumpuhkan aliran minyak dan gas, tetapi juga memicu kepanikan pasar, inflasi, dan ketegangan diplomatik lintas benua. Jalan menuju penyelesaian konflik harus ditempuh melalui diplomasi aktif, bukan dengan eskalasi militer yang dapat memperburuk kondisi global yang sudah rapuh.

Dalam lanskap dunia yang terhubung secara ekonomi dan strategis, ancaman terhadap satu jalur energi dapat melahirkan dampak sistemik. Menjaga Selat Hormuz tetap terbuka dan aman menjadi tanggung jawab bersama yang memerlukan komitmen kolektif dari semua aktor utama. Ketegangan boleh terjadi, tetapi keputusan untuk menahan diri adalah bentuk kepemimpinan yang visioner dan berpihak pada kepentingan global. Pada akhirnya, mencegah krisis energi berarti melindungi fondasi kestabilan dunia yang lebih luas.

Sumber: Detik.com, Al Jazeera, U.S. Energy Information Administration, AInvest

+
+