

Perempuan Perlu Turut Andil dalam Perencanaan Tata Ruang
Sebagian besar manusia memaknai ruang sebagai wadah untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dari ruang, manusia bisa melakukan kerja-kerja produktif. Dari ruang, manusia bisa menjalankan fungsi sosial. Dari ruang pula, manusia bisa merasakan keberpihakan pembangunan ruang itu sendiri. Namun, masih sedikit manusia yang paham bahwa ruang bukanlah entitas netral.
Pada dasarnya, ruang secara pengertian umum memanglah netral, ia bebas nilai. Ruang yang tidak netral dan tidak bebas nilai adalah ruang yang berada dalam suatu wilayah politis. Dari wilayah politis tersebut, terciptalah sebuah wewenang dan legitimasi untuk mengatur ruang sedemikian adanya. Sayangnya, wewenang dan legitimasi untuk mengatur ruang tersebut selama ini didominasi oleh kepentingan laki-laki.
Realitas saat ini adalah dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tata ruang. Ruang yang kita tempati saat ini, dari jalanan kota hingga fasilitas publik, banyak yang dirancang dengan mengabaikan pengalaman hidup dan kebutuhan perempuan. Akibatnya, tata ruang menjadi bias gender, diciptakan oleh lelaki dan untuk lelaki. Padahal, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, perempuan memiliki kebutuhan menyusui jika sudah memiliki anak, sementara lelaki tidak memiliki kebutuhan untuk itu.
Selama ini, perempuan juga menghadapi pengalaman ruang yang berbeda, terlebih saat malam hari. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan malam hari, tetapi kultur dominasi laki-laki yang menganggap perempuan hanya sebagai objek semata membuat perempuan rentan mengalami pelecehan di ruang-ruang publik.
Perempuan sebenarnya memiliki semacam hubungan yang berbeda dengan ruang. Banyak perempuan menjalani peran ganda dalam kesehariannya, yang melakoni tugas menjadi pekerja, pengasuh anak, dan menjalani kehidupan sosial. Perjalanan harian perempuan lebih kompleks dan sering kali tidak linier, seperti mengantar anak sekolah, bekerja, belanja kebutuhan rumah tangga, hingga merawat orang tua.
Namun, alih-alih mendukung alur hidup yang kompleks ini, tata ruang justru membuatnya makin sulit dijalani. Kurangnya integrasi antartransportasi umum, tidak adanya ruang penitipan anak dekat fasilitas publik, atau minimnya ruang aman untuk rehat dan menyusui menunjukkan bagaimana kebutuhan perempuan dikesampingkan.
Dalam konteks perencanaan tata ruang, andil perempuan sangat penting. Bukan hanya karena mereka adalah setengah dari populasi, tetapi karena mereka membawa pengalaman dan pengetahuan yang selama ini tidak dianggap standar. Ketika perempuan terlibat aktif, perencanaan tidak lagi sebatas membangun infrastruktur, tetapi juga menyusun ruang hidup yang manusiawi, khususnya bagi perempuan.
Meski demikian, menghadirkan peran perempuan dalam perencanaan tata ruang bukanlah hal yang mudah. Hambatan struktural dan kultural masih mengakar. Profesi perencana ruang dan arsitek masih didominasi oleh laki-laki. Forum-forum perencanaan sering kali tidak ramah bagi perempuan, baik dari segi waktu pelaksanaan, gaya komunikasi yang elitis, hingga minimnya penghargaan terhadap masukan dari perempuan komunitas akar rumput. Bahkan, perempuan yang bersuara sering kali dianggap emosional atau tidak rasional. Padahal, perempuan membawa realitas yang tidak pernah disentuh oleh angka-angka dalam dokumen teknokratik.
Referensi data: The Indian Express, The Mancunion, Our World in Data