Default Title
logo spatial highlights
Mapping Power to the People, Demokratisasi Peta untuk Gerakan Publik

Mapping Power to the People, Demokratisasi Peta untuk Gerakan Publik

Selama dua dekade ini, peta telah berubah fungsi secara drastis. Jika dulu peta hanya dianggap sebagai gambar statis berisi garis jalan, gunung, atau batas wilayah, kini ia menjadi instrumen yang hidup dan dinamis. Melalui peta digital berbasis data spasial, masyarakat bisa mengorganisasi aksi bersama, memantau jalannya kebijakan pemerintah, hingga melacak pergerakan aparat saat demonstrasi. Perubahan ini melahirkan gagasan “mapping power to the people”, sebuah konsep yang menegaskan bahwa peta tidak lagi menjadi monopoli teknokrat atau pemerintah, melainkan alat partisipasi publik. Dengan peta, warga dapat membangun visibilitas atas isu yang mereka hadapi, memperlihatkan ketidakadilan yang selama ini tersembunyi, sekaligus menegosiasikan ruang mereka dalam struktur kekuasaan.

Lebih penting lagi, gagasan ini membuka ruang demokratisasi informasi. Siapa pun kini bisa berkontribusi, mulai dari relawan digital hingga warga yang tinggal di kawasan kumuh atau komunitas yang sering terpinggirkan. Bagi mereka, peta bukan sekadar representasi ruang, melainkan media untuk menyuarakan kebutuhan dasar, seperti akses air bersih, kesehatan, pendidikan, atau bahkan sekadar keamanan lingkungan. Dengan kata lain, peta menjadi alat perjuangan yang sunyi, tetapi kuat karena memberi masyarakat kemampuan untuk mengklaim hak mereka atas ruang hidup.

Inilah inti dari “mapping power to the people” yang menggeser kendali peta dari tangan elit ke tangan rakyat sehingga ruang publik dapat dikelola secara lebih adil dan inklusif. Sejauh ini “mapping power to the people” telah menunjukkan kapasitasnya sebagai instrumen pendukung berbagai gerakan publik di berbagai belahan dunia.

  1. Ushahidi—Kenya 2008

Setelah kerusuhan pasca-pemilu Kenya 2007–2008, lahirlah Ushahidi, sebuah platform digital yang namanya berarti “kesaksian” dalam bahasa Swahili. Platform ini memungkinkan warga melaporkan kejadian kekerasan hanya melalui SMS, lalu setiap laporan langsung divisualisasikan dalam bentuk peta interaktif. Dalam hitungan hari, ribuan laporan terkumpul dan membentuk gambaran spasial real-time mengenai titik-titik kerusuhan. Informasi ini terbukti jauh lebih cepat, akurat, dan kaya detail dibandingkan laporan resmi pemerintah sehingga membuka mata banyak pihak bahwa data warga biasa dapat memiliki nilai yang sangat strategis dalam situasi krisis.

Keberhasilan Ushahidi kemudian menjadi titik awal lahirnya fenomena pemetaan krisis global. Dilansir The Guardian, inisiatif ini segera diadopsi oleh berbagai komunitas internasional karena terbukti efektif dalam memetakan kondisi darurat secara cepat. Bahkan hingga 2018, Ushahidi masih terus digunakan di berbagai negara untuk melacak krisis kemanusiaan, mulai dari bencana alam hingga konflik politik, dan menjadi salah satu contoh nyata bagaimana teknologi geospasial dapat berfungsi sebagai alat partisipasi warga.

  1. HOT—Haiti 2010

Saat gempa dahsyat mengguncang Haiti pada 12 Januari 2010, situasi darurat membuat informasi spasial menjadi kebutuhan mendesak. Dalam waktu kurang dari 48 jam, lebih dari 600 relawan dari seluruh dunia bergabung dalam proyek OpenStreetMap (OSM) untuk memetakan ulang Port-au-Prince menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Hasil kerja kolaboratif ini menghasilkan peta detail yang kemudian menjadi panduan utama bagi Palang Merah, PBB, hingga berbagai LSM internasional dalam menyalurkan bantuan dan melakukan operasi penyelamatan. The New Yorker bahkan menyebut peta OSM Haiti sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah humanitarian mapping karena menunjukkan betapa cepat dan efektifnya relawan digital bisa mengisi celah informasi ketika infrastruktur komunikasi runtuh.

Dari momentum tersebut, lahirlah Humanitarian OpenStreetMap Team (HOT) yang berupaya memastikan pemetaan tidak berhenti pada respons krisis semata, tetapi juga membangun kapasitas jangka panjang di tingkat lokal. Melalui pelatihan dan pendampingan, warga Haiti mulai dilibatkan langsung dalam pemetaan sehingga peta tidak lagi dipandang sebagai “produk asing” melainkan aset komunitas.

  1. HKmap.Live—Hong Kong 2019

Pada gelombang protes besar di Hong Kong tahun 2019–2020, teknologi digital menjadi senjata penting bagi warga untuk bertahan di tengah situasi represif. Salah satu inovasi yang mencolok adalah aplikasi HKmap.Live, yang menyediakan informasi real-time mengenai lokasi polisi, area jalan yang ditutup, hingga titik-titik konsentrasi massa. Data ini dihimpun secara kolaboratif melalui saluran Telegram oleh para relawan anonim, lalu divisualisasikan dalam bentuk peta interaktif yang mudah diakses publik. Dalam hari pertama peluncurannya saja, aplikasi ini dikunjungi lebih dari 10.000 pengguna, dan dengan cepat menjelma menjadi alat kesadaran situasional yang krusial baik bagi para demonstran maupun warga biasa yang hanya ingin menghindari area konflik.

Namun, keberhasilan tersebut tidak lepas dari kontroversi politik. Hanya seminggu setelah dirilis, Apple menghapus versi iOS HKmap.Live dari App Store dengan alasan aplikasi tersebut dianggap “memfasilitasi pelanggaran hukum dan mengancam keselamatan publik,” sebuah langkah yang diyakini diambil setelah mendapat tekanan langsung dari pemerintah Tiongkok. Keputusan ini memicu perdebatan global mengenai batas antara keamanan publik, kebebasan berekspresi, dan independensi perusahaan teknologi dalam menghadapi tekanan politik. Para pengembang aplikasi membantah tuduhan Apple, menyebut penghapusan itu sebagai bentuk sensor yang merugikan transparansi informasi di ruang publik. Kasus HKmap.Live pun menjadi simbol bagaimana peta digital, meski lahir dari semangat warga, bisa berhadapan dengan kekuatan negara dan korporasi raksasa yang berusaha mengendalikan arus informasi.

Peta untuk Menyuarakan Kebenaran

Dari Ushahidi di Kenya, HOT di Haiti, hingga HKmap.Live di Hong Kong, terlihat jelas bahwa peta bukan sekadar alat visualisasi ruang, melainkan medium untuk menyuarakan kebenaran dan menegakkan hak-hak masyarakat. Setiap titik, garis, dan area pada peta dapat merekam realitas yang sering terabaikan oleh narasi resmi atau media arus utama. Dengan memanfaatkan data spasial, warga biasa bisa membuat informasi mereka terdengar, memperlihatkan ketidakadilan, dan sekaligus mengorganisasi tindakan kolektif secara lebih efektif. Transformasi ini menunjukkan bahwa teknologi geospasial mampu memecah monopoli informasi dan mengubah peta menjadi instrumen partisipasi yang demokratis.

Gagasan “mapping power to the people” menegaskan bahwa peta bukan hanya milik pemerintah atau ahli teknis, tetapi milik semua orang yang ingin mengklaim ruang dan hak mereka. Inisiatif masyarakat tersebut membuktikan bahwa peta dapat menjadi senjata sunyi untuk mengawasi kekuasaan, memperjuangkan keadilan, dan memperkuat kapasitas komunitas. Dalam konteks modern, memetakan bukan sekadar soal geografi, melainkan soal memberikan suara kepada yang selama ini tidak terdengar, menyuarakan kebenaran, dan menegaskan bahwa ruang publik adalah milik bersama.

+
+