Default Title
logo spatial highlights
Saatnya Geospasial Ambil Peran di Badai Kedua COVID-19

Saatnya Geospasial Ambil Peran di Badai Kedua COVID-19

Pada 23 Mei 2025, Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes) mengeluarkan surat edaran bernomor SR.03.01/C/1422/2025 yang menyoroti peningkatan kasus COVID-19 di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura. Langkah ini merupakan respons terhadap lonjakan kasus global yang tercatat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dengan 91.583 kasus baru dalam 28 hari hingga 11 Mei, meningkat 55.984 kasus dibanding bulan sebelumnya.

Dalam surat edaran ini, Kemenkes menekankan pentingnya sosialisasi protokol kesehatan oleh fasilitas kesehatan, termasuk menggunakan masker, mencuci tangan, dan menggunakan hand sanitizer. Selain itu, fasilitas kesehatan diharapkan melakukan pemetaan dan deteksi dini kasus sesuai ketentuan. Langkah ini bertujuan untuk mencegah penyebaran virus secara luas dan memastikan kesiapan sistem kesehatan dalam menghadapi potensi lonjakan kasus.

Lalu, apakah kita akan menyikapi hal ini dengan tenang-tenang saja atau justru penuh kepanikan seperti tahun 2020 yang lalu? Apakah pelajaran selama dua tahun hidup secara terisolasi dari dunia luar membuat para penyintas COVID-19 yang sudah dibekali vaksin, kini menjadi abai dengan badai yang akan segera datang?

Belajar dari Negara Tetangga

Di era pascapandemi, kewaspadaan tak lagi cukup hanya bermodal protokol kesehatan. Ketika COVID-19 kembali menunjukkan tanda-tanda lonjakan di Asia Tenggara, pertanyaan mendesak yang harus kita jawab bukan hanya "berapa banyak kasus yang muncul", melainkan juga "di mana kasus-kasus ini terjadi, bagaimana penyebarannya berpola, dan siapa yang paling terdampak". Di sinilah, data geospasial mengambil peran penting. Melalui peta digital dan analisis spasial, kita bisa melihat lebih dari sekadar angka, kita dapat membaca pergerakan wabah, memetakan kerentanan, dan merancang respons yang tepat sasaran.

Pola lonjakan kasus di kawasan Asia Tenggara sudah mulai terlihat sejak awal Mei 2025. Di Thailand, tercatat 69,2 ribu kasus COVID-19 dalam periode terbaru. Pemerintah setempat memilih strategi adaptif dengan mengembangkan layanan kesehatan digital berbasis lokasi. Aplikasi-aplikasi, seperti Mordee, Clicknick, dan SaluberMD, memungkinkan masyarakat berkonsultasi secara daring dan menerima obat langsung di rumah. Strategi ini bukan hanya solusi praktis, melainkan juga sebuah cara efektif untuk mengurangi interaksi warga yang melakukan aktivitas di luar rumah saat badai COVID-19 kembali menghantam. Dalam konteks geospasial, strategi ini menunjukkan bagaimana distribusi spasial pasien dikaitkan dengan jaringan layanan yang efisien.

Sementara itu, di Malaysia, lonjakan 14,8% kasus baru COVID-19 tercatat dalam rentang 8.609 pada bulan Mei. Meskipun angkanya tidak sebesar Thailand, para ahli, seperti virolog Kumitaa Theva Das, menyoroti potensi lonjakan kasus akibat mobilitas tinggi saat libur sekolah yang jatuh pada pada 29 Mei hingga 9 Juni 2025. Di sini, analisis spasial menjadi krusial. Dengan membaca data pergerakan masyarakat, khususnya antara kota dan daerah wisata, data yang didapatkan bisa diolah untuk mengidentifikasi zona rawan penyebaran. Dengan sistem geospasial, otoritas kesehatan dapat membuat peta risiko penyebaran berbasis mobilitas dan mulai memberikan pengawasan ekstra pada lokasi-lokasi yang menjadi pusat keramaian.

Tak kalah penting, Singapura melaporkan peningkatan kasus sebesar 30% hanya dalam satu minggu, dari 11.100 menjadi 14.200 kasus pada awal Mei 2025. Pemicunya adalah varian baru, seperti LF.7 dan NB.1.8, sub-linier dari varian JN.1. Pemerintahnya bergerak cepat dengan menyediakan vaksin yang diperbarui dan menargetkan kelompok rentan, seperti lansia dan penderita komorbid. Pendekatan Singapura juga berbasis geospasial, di mana distribusi vaksin dilakukan dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk lansia dan lokasi panti jompo. Di sini, pemetaan demografi menjadi senjata penting dalam menentukan wilayah prioritas intervensi kesehatan.

Memahami Ruang, Memahami Penyebaran Virus

Ketiga negara tersebut menunjukkan satu benang merah bahwa lonjakan kasus tidak bisa lagi dilihat secara terpisah dari konteks ruang. Virus menyebar mengikuti jejak manusia, dan manusia bergerak mengikuti struktur ruang, dari kota, transportasi publik, sekolah, hingga rumah ibadah. Dengan demikian, memahami ruang adalah memahami bagaimana mencegah wabah menyebar.

Indonesia sendiri sudah mulai mengambil langkah antisipatif melalui surat edaran Kementerian Kesehatan pada 23 Mei 2025. Surat ini meminta semua fasilitas kesehatan menghidupkan kembali protokol kesehatan dan melakukan deteksi dini. Namun, lebih dari itu, surat ini membuka peluang untuk mengintegrasikan pendekatan geospasial dalam kebijakan kesehatan publik. Pemetaan wilayah dengan risiko tinggi, analisis pergerakan populasi, serta visualisasi sebaran fasilitas kesehatan adalah langkah-langkah strategis yang seharusnya menjadi standar dalam kesiapsiagaan.

Pengalaman masa lalu mengajarkan kita bahwa respons yang cepat belum tentu tepat jika tidak berbasis data. Di tahun 2025 ini, data terbaik untuk memahami dan menanggulangi pandemi adalah data yang berbicara tentang ruang. Lewat pemetaan spasial, kita bisa mengatur strategi yang tidak hanya menenangkan publik, tetapi juga menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Dengan segala kecanggihan teknologi yang tersedia, dari dashboard pemantauan berbasis GIS hingga integrasi data real-time dari rumah sakit, Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak lagi jadi reaktif, melainkan proaktif. COVID-19 mungkin belum sepenuhnya hilang, tetapi dengan geospasial sebagai panduan, kita bisa memetakan jalan keluar dari badai berikutnya.

Langkah Preventif dan Pemetaan Geospasial

Jika nantinya badai kedua virus ini benar-benar masuk ke Indonesia, pemetaan geospasial menjadi alat penting dalam memahami penyebaran COVID-19. Dengan data geospasial, pemerintah dapat mengidentifikasi daerah dengan tingkat penularan tinggi, memantau mobilitas penduduk, dan merencanakan distribusi sumber daya kesehatan secara efisien.

Pengalaman selama pandemi sebelumnya telah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya protokol kesehatan, vaksinasi, dan respons cepat terhadap lonjakan kasus. Dengan pemanfaatan teknologi dan langkah preventif yang tepat , kita dapat menghadapi potensi gelombang COVID-19 dengan lebih tenang dan terorganisasi.

Sumber: Tempo, Thailand Business News, The Straits Times, Business Standard

+
+