

Memahami “Non-Place” Marc Auge: Ketika Ruang Tidak Memiliki Identitas dan Memori Historis
Dalam dunia modern yang serba cepat dan digital, ruang-ruang yang dulu bermakna kini perlahan tergeser oleh apa yang disebut oleh antropolog Prancis Marc Auge sebagai “non-place” atau bukan-tempat. Konsep tersebut dilahirkan Auge sebagai respons sekaligus kritik terhadap perkembangan ruang dalam masyarakat kontemporer. Auge menganggap ruang-ruang tersebut niridentitas, sekaligus tidak menyimpan sejarah, tidak mendorong hubungan sosial, dan tidak meninggalkan jejak emosional bagi penggunanya.
Sederhananya, non-place adalah ruang yang kita jajaki dan kunjungi tanpa keterikatan. Non-place acapkali bersifat transaksional, anonim, dan sering kali seragam. Auge mencontohkan non-place dengan bandara, jalan tol, ATM, pusat perbelanjaan, hingga ruang tunggu rumah sakit.
Di ruang-ruang tersebut, manusia hadir bukan untuk mengalami, melainkan untuk menyelesaikan fungsi tertentu, seperti menunggu, membeli, bertransaksi, atau berpindah tempat. Interaksi yang terjadi pun terbatas pada instruksi teknis dan prosedur standar, tanpa ruang untuk relasi personal. Tidak ada narasi lokal, tidak ada sejarah yang terpatri, dan tidak ada kenangan yang tertinggal.
Augé menyebut bahwa di era yang ia sebut supermodernity, ruang-ruang seperti ini makin mendominasi kehidupan manusia. Seiring perkembangan teknologi, non-place tak lagi hanya hadir secara fisik, tetapi juga menjelma dalam bentuk digital. Ruang-ruang virtual, seperti aplikasi perbankan, situs layanan publik, atau portal daring lainnya, telah menjadi non-place versi baru.
Non-place era kini hadir dalam bentuk yang cepat, efisien, tetapi tanpa makna. Interaksi-interaksi yang dulunya bisa tampak di ruang nyata, kini digantikan oleh layar datar, ikon, dan usapan jari. Padahal, ruang itu dulunya diisi dengan suara, sentuhan, dan tatap muka antarmanusia.
Pergeseran Makna Ruang
Di situlah kemudian lanskap pergeseran besar terjadi. Pergeseran tersebut justru lebih kentara pada makna ruang itu sendiri, alih-alih perihal pergeseran teknologi. Dalam konteks perbankan digital, misalnya, kita tak lagi berjalan ke dalam sebuah gedung, menyapa petugas, dan menjalani serangkaian aktivitas yang bersifat sosial dan fisik.
Semua itu digantikan oleh antarmuka yang asing, simbol-simbol digital yang tak akrab, dan pengalaman individual yang sepi. Bagi kalangan muda, pergeseran ini mungkin terasa alami. Namun, bagi para lansia, ruang digital ini mencabut mereka dari keterhubungan historis yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Ruang fisik bank, misalnya, bukan hanya tempat untuk mengambil uang, melainkan juga tempat bertanya, berbincang, bahkan sekadar menyapa wajah yang dikenal. Ketika interaksi itu hilang, memori historis pun ikut larut dalam proses digitalisasi. Lansia tak hanya merasa asing terhadap teknologi, tetapi juga kehilangan ruang yang dulunya memberi rasa aman dan keakraban. Dalam dunia non-place di era supermodernity ini, mereka tidak lagi merasa “berada” di suatu tempat.
Dari situ, non-place mencerminkan pergeseran tanggung jawab dan beban emosional dari institusi ke individu. Jika dulu prosedur dipandu oleh pegawai yang mengenal pelanggan, kini pengguna harus menavigasi sistem yang tak memedulikan usia, keterbatasan, atau latar belakang. Apa yang tampak seperti efisiensi sebenarnya menyembunyikan biaya transaksional baru, yaitu kebingungan, kecemasan, bahkan rasa takut.
Dalam konteks ini, non-place bukan hanya soal ruang anonim, melainkan juga tentang penghilangan makna, identitas, dan keterikatan. Ia adalah produk dari era yang memprioritaskan kecepatan dan skalabilitas di atas pengalaman dan keberadaan manusia. Ketika ruang-ruang bermakna digantikan oleh sistem-sistem tanpa wajah dan suara, hilang pula jaringan memori kolektif yang membentuk rasa memiliki terhadap ruang.
Referensi: Association of Computer Science Undergraduates, The Korea Times