BRIN Manfaatkan Data Ocean Color untuk Analisis Geospasial
Dalam era digital yang makin mengandalkan data spasial, laut tak lagi dipandang sekadar hamparan biru yang luas, melainkan ruang hidup yang menyimpan informasi vital tentang keseimbangan ekosistem dan sumber daya alam. Melalui pendekatan geospasial, laut kini dapat “dibaca” secara ilmiah untuk memahami dinamika perairan dan perubahan lingkungannya.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi salah satu lembaga yang aktif mengembangkan riset di bidang ini, dengan memanfaatkan teknologi ocean color science untuk mendukung pengelolaan kelautan secara berkelanjutan. Melalui Pusat Riset Geoinformatika (PRGI), BRIN menegaskan bahwa ocean color science memiliki peran penting dalam penyediaan informasi geospasial kelautan.
Kepala PRGI BRIN, M. Rokhis Khomarudin, dilansir dari RRI.co, menyatakan bahwa data warna laut mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai konsentrasi klorofil, kualitas air, dan produktivitas laut. Informasi ini menjadi fondasi strategis untuk mendukung riset serta pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, kemampuan memproses dan menginterpretasikan data warna laut menjadi bagian penting dari ketahanan pesisir, keberlanjutan ekosistem kelautan, serta penguatan ekonomi biru nasional.
Ocean color science mencerminkan inti dari geoinformatika, yakni integrasi antara berbagai teknologi pengindraan dan analisis spasial. Dalam konteks riset kelautan, para ilmuwan BRIN memanfaatkan teknologi pengindraan jauh, sistem informasi geografis (GIS), pemodelan spasial, dan analisis data untuk memahami dinamika laut secara menyeluruh.
Integrasi teknologi ini memungkinkan pemetaan pola produktivitas perairan dan perubahan kualitas lingkungan laut secara temporal maupun spasial. Rokhis menegaskan bahwa kolaborasi dan inovasi antarlembaga menjadi kunci dalam memperluas penerapan geoinformatika agar manfaat ilmu kelautan dapat dirasakan lebih luas oleh masyarakat dan pemangku kebijakan.
Periset PRGI BRIN, Gathot Winarso, menjelaskan bahwa warna laut dipengaruhi oleh proses penyerapan dan pemantulan cahaya. Air laut menyerap warna merah dari spektrum cahaya, sementara warna biru lebih banyak dipantulkan sehingga lautan tampak biru bagi pengamat. Namun, interaksi cahaya dengan sedimen dan partikel tersuspensi dapat menghasilkan variasi warna lain, seperti hijau atau merah. Fenomena ini menjadi dasar bagi pengindraan warna laut menggunakan sensor satelit. Gathot menambahkan bahwa perkembangan teknologi sensor, mulai dari Coastal Zone Color Scanner (CZCS) di satelit Nimbus hingga algoritma modern yang dirancang khusus untuk wilayah tropis, kini memperkuat kemampuan Indonesia dalam memantau kondisi perairan secara lebih akurat.
Sementara itu, Kie Trung Hieu dari University of Singapore menyoroti kemajuan pemanfaatan unmanned aerial vehicle (UAV) dalam riset kelautan. UAV memungkinkan pengambilan citra dengan resolusi sub-meter dan gangguan atmosfer yang minimal sehingga melengkapi fungsi pemantauan satelit. Teknologi ini memanfaatkan sistem mosaik berbasis Global Positioning System (GPS) dan metode deep learning untuk pemrosesan citra laut.
Integrasi UAV dengan sistem satelit diharapkan dapat meningkatkan akurasi data warna laut serta memperkuat kerja sama riset geospasial perairan Asia Tenggara di masa mendatang. Pemanfaatan data warna laut oleh BRIN menjadi bukti nyata bagaimana geospasial berperan penting dalam memahami, melindungi, dan mengelola laut Indonesia secara berkelanjutan.
