Default Title
logo spatial highlights
Saatnya Geospasial Ambil Peran dalam Memetakan dan Memitigasi Kasus Influenza A di Indonesia

Saatnya Geospasial Ambil Peran dalam Memetakan dan Memitigasi Kasus Influenza A di Indonesia

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pandemi COVID-19 mengubah cara hidup manusia di seluruh dunia. Ketika virus itu menyebar dengan cepat dan sistem kesehatan belum siap, kepanikan pun meluas ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Kini, situasi serupa tampaknya mulai muncul kembali.

Pada 17 Oktober 2025, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengumumkan adanya peningkatan kasus penyakit influenza di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menjelaskan bahwa lonjakan ini juga terjadi di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sebagian besar kasus disebabkan oleh virus Influenza tipe A, terutama varian H3N2.

Dilansir dari Kompas, Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, juga menegaskan bahwa varian H3N2 kini menjadi penyebab utama peningkatan kasus flu di kawasan Asia Tenggara dan bahkan dunia. Thailand dilaporkan mencatat hingga 61 kasus kematian akibat virus ini sejak awal tahun 2025. Data tersebut menjadi peringatan bahwa Indonesia perlu bersiap menghadapi potensi gelombang baru penyakit pernapasan ini, tidak hanya dengan upaya medis, tetapi juga melalui pendekatan berbasis data dan teknologi geospasial.

Baca juga: Saatnya Geospasial Ambil Peran di Badai Kedua COVID-19

Apa itu Influenza A?

Influenza A merupakan jenis flu yang disebabkan oleh infeksi virus yang mudah menular. Dikutip dari Tribrata News, varian H3N2 kini menjadi faktor utama meningkatnya kasus gangguan pernapasan di berbagai wilayah, terutama saat cuaca sedang tidak menentu dan kelembapan udara tinggi. Sekilas terlihat seperti flu biasa, tetapi virus Influenza A lebih berbahaya karena mampu bermutasi dengan cepat.

Akibatnya, sistem kekebalan tubuh sering kali tidak dapat mengenali strain baru yang muncul. Penularan bisa terjadi lewat udara, terutama di tempat ramai atau tertutup, dan bahkan bisa menular dari orang yang belum menunjukkan gejala. Itulah sebabnya penyakit ini dapat menyebar dengan cepat di sekolah, perkantoran, atau transportasi umum. Gejalanya meliputi demam tinggi, nyeri otot, batuk kering, dan sakit kepala. Bagi sebagian orang, flu ini bisa berkembang menjadi pneumonia atau infeksi paru yang serius.

Menemukan Pola, Membaca Arah Persebaran

Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk menghadapi ancaman ini dengan lebih siap. Pengalaman selama pandemi COVID-19 telah mempercepat pengembangan sistem pemantauan berbasis data di berbagai instansi pemerintah. Kini saatnya sistem tersebut diintegrasikan dengan pendekatan geospasial agar lebih efektif pada kasus Influenza A.

Salah satu caranya, Kemenkes dapat membangun dasbor pemantauan spasial yang menampilkan peta distribusi kasus Influenza A secara real-time di seluruh provinsi. Data dari rumah sakit, puskesmas, dan laboratorium bisa dihubungkan dalam satu peta interaktif untuk memantau tren penularan harian. Dengan begitu, daerah yang berisiko tinggi dapat segera diberi peringatan dini. Selain itu, pemetaan spasial juga dapat membantu menentukan wilayah prioritas untuk vaksinasi atau kampanye kesehatan, misalnya di daerah padat penduduk, sekolah, atau tempat dengan banyak lansia.

Layaknya flu pada umumnya, Influenza A tidak menyebar secara acak, ia mengikuti pola pergerakan manusia, kepadatan wilayah, serta kondisi lingkungan. Dengan bantuan SIG (sistem informasi geografis) dan data spasial, pemerintah bisa memetakan wilayah dengan tingkat penularan tinggi dan menemukan pola penyebaran penyakit secara lebih akurat. Misalnya, dengan data lokasi rumah sakit, sekolah, dan tempat umum, pemerintah bisa melihat hubungan antara mobilitas warga dan lonjakan kasus di suatu daerah. Selain itu, analisis geospasial juga bisa menghubungkan data kesehatan dengan faktor lingkungan, seperti suhu dan kelembaban, sehingga wilayah yang berisiko tinggi bisa terdeteksi lebih awal.

Saatnya Geospasial Ambil Peran

Flu bukanlah penyakit baru dalam sejarah peradaban manusia. Sejak berabad-abad lalu, influenza selalu hadir sebagai ancaman yang berulang, kadang ringan, kadang membawa bencana besar, seperti flu Spanyol pada 1918 dan COVID-19 pada 2020, yang menewaskan jutaan orang di seluruh dunia. Kini, di tengah kemunculan kembali varian Influenza A di kawasan Asia Tenggara, Indonesia perlu menyadari bahwa penyakit ini bukan sekadar urusan medis, melainkan juga persoalan tata kelola data dan ruang.

Pemerintah harus segera membangun sistem pemantauan dan mitigasi berbasis geospasial yang mampu menggabungkan informasi dari rumah sakit, puskesmas, laboratorium, serta data lingkungan, seperti suhu, kelembapan, dan kepadatan penduduk. Dengan sistem semacam ini, penyebaran virus bisa terpantau secara real-time, wilayah berisiko dapat diidentifikasi lebih cepat, dan langkah intervensi kesehatan bisa dilakukan sebelum wabah meluas.

Teknologi geospasial memberi kemampuan untuk melihat wabah bukan sekadar sebagai angka statistik, melainkan juga sebagai pola pergerakan manusia dan interaksi ruang yang membentuk jalur penularan penyakit. Jika pandemi COVID-19 telah mengajarkan pentingnya kesiapsiagaan dan keterbukaan data, maka ancaman Influenza A menegaskan bahwa peta dan data adalah dua alat utama dalam menghadapi krisis kesehatan modern.

Sudah saatnya pemerintah menempatkan geospasial sebagai bagian inti dari sistem kesehatan nasional, bukan hanya untuk memetakan lokasi kasus, melainkan juga untuk memetakan masa depan. Dengan panduan data spasial yang terintegrasi, Indonesia dapat berpindah dari pola reaktif menjadi proaktif, menyiapkan langkah pencegahan yang tepat, dan memastikan bahwa wabah seperti influenza tidak lagi mengguncang bangsa ini tanpa peringatan.

+
+