

Pemetaan Makanan Sehat di Inggris: Bisakah Ditiru di Indonesia?
Pemerintah Inggris mengalokasikan dana sebesar £8,5 juta untuk mendukung enam proyek regional yang bertujuan mengatasi masalah pangan. Proyek ini juga bertujuan meningkatkan akses terhadap makanan bergizi bagi komunitas yang kurang mampu di seluruh negeri.
Pendanaan ini diumumkan pada Senin, 7 Juli 2025 oleh Menteri Sains dan Teknologi, Peter Kyle, dan disalurkan melalui lembaga UK Research and Innovation (UKRI). Dana tersebut mendukung berbagai inisiatif yang memadukan riset ilmiah dengan solusi praktis, seperti pedagang sayur keliling, skema voucer, restoran publik bersubsidi, serta alat berbasis data untuk mengatasi kesenjangan pangan yang kian melebar.
Salah satu proyek unggulan di Liverpool sedang mengembangkan alat pemetaan digital untuk membantu layanan Queen of Greens. Proyek tersebut ditujukan untuk menjangkau warga perumahan sosial yang sulit mendapatkan akses ke produk segar. Sejak 2022, bus ini telah mengedarkan buah dan sayuran terjangkau di wilayah Liverpool dan Knowsley. Dengan alat baru ini, proyek akan mampu memperluas jangkauan secara lebih tepat sasaran.
Selain itu, beberapa warga juga akan menerima voucer buah dan sayuran dari Alexandra Rose Charity yang dapat digunakan di layanan keliling tersebut. Para peneliti juga akan memantau perubahan pola makan dan kondisi kesehatan, serta mengevaluasi potensi dampak jika program ini diterapkan secara nasional.
Proyek lainnya mencakup dua restoran publik bersubsidi di Dundee dan Nottingham yang menawarkan makanan bergizi dan terjangkau, dengan menu yang dirancang bersama keluarga dari komunitas kurang mampu. Di Glasgow, pasar pangan komunitas yang berlokasi di kawasan food deserts akan diperkuat dengan kegiatan literasi pangan dan seni untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat.
Sementara itu, di Southampton, New Forest, dan Isle of Wight, skema lain difokuskan pada peningkatan rantai pasok lumbung pangan melalui platform daring guna mengurangi limbah makanan sekaligus memperluas akses terhadap pangan bergizi. Di Wales, para peneliti akan menilai dan meningkatkan kualitas gizi serta tingkat pemanfaatan program makan siang gratis di sekolah. Kemudian, di wilayah-wilayah tertinggal di Inggris, serangkaian lokakarya akan digelar untuk membantu pemerintah daerah merancang kebijakan yang mampu mengurangi ketimpangan akses pangan antarwilayah.
Bisakah Diterapkan di Indonesia?
Program intervensi pangan berbasis riset, seperti yang tengah diterapkan Pemerintah Inggris, sejatinya memiliki potensi besar untuk diadopsi di Indonesia. Indonesia sendiri sudah memiliki akar tradisi yang memungkinkan pengembangan model serupa. Misalnya, budaya pedagang sayur keliling atau pasar tumpah yang sudah lama dikenal di lingkungan masyarakat bisa dikembangkan menjadi sistem layanan pangan keliling berbasis teknologi, mirip dengan program Queen of Greens di Inggris.
Dengan bantuan sistem pemetaan digital, layanan ini dapat menjangkau komunitas padat penduduk, daerah kumuh, atau kawasan perumahan sosial yang kesulitan mengakses makanan segar dan sehat. Program ini juga bisa dilengkapi dengan skema voucer pangan bergizi yang disubsidi pemerintah atau disokong melalui program corporate social responsibility (CSR).
Selain itu, konsep restoran publik bersubsidi yang diimplementasikan di Inggris juga sangat relevan untuk kondisi Indonesia. Restoran seperti ini dapat diadaptasi menjadi semacam warung sehat milik rakyat yang dikelola oleh koperasi lokal atau komunitas ibu rumah tangga, yang menyajikan makanan bergizi berbasis bahan pangan lokal dengan harga yang sangat terjangkau. Nantinya, menu yang disajikan pun bisa dirancang melalui pendekatan partisipatif bersama warga sekitar, terutama keluarga berpenghasilan rendah, agar sesuai dengan kebiasaan makan dan selera lokal. Melalui pendekatan kolaboratif dan teknologi tepat guna, Indonesia bukan hanya bisa meniru, tetapi juga mengembangkan solusi pangan bergizi yang berbasis kearifan lokal dan daya tahan komunitas.
Sumber: Pemerintah Inggris, UKTN, New Food Magazine